Lihat ke Halaman Asli

Meita Eryanti

TERVERIFIKASI

Penjual buku di IG @bukumee

Budaya Mempermalukan Orang

Diperbarui: 20 Maret 2019   20:11

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

juaranews.com

Semalam, saat sedang leyeh-leyeh setelah makan malam, aku menemukan seorang teman yang membagikan sebuah video dari akun @atcs.kotabandung. FYI, @atcs.kotabandung adalah akun Instagram resmi milik Dinas Perhubungan Kota Bandung. Video tersebut menggambarkan suasana di sebuah simpang jalan raya.

Tiba-tiba ada seorang pengendara motor yang berhenti di zebracross saat lampu merah. Lalu muncul suara petugas yang menghimbau pengendara motor tersebut dengan menyebutkan ciri-cirinya. Kemudian pengendara motor tersebut mundur hingga Ruang Henti Khusus Motor. Aku tertawa menonton video itu. Apalagi, video tersebut disunting dan diberi tambahan gambar dan musik yang segar. Menurutku itu lucu.

Kemudian aku menggulirkan layar ponsel ke akun @atcs.kotabandung dan menonton video yang lainnya. Lama-lama tawaku surut. Di beberapa video, aku mendengar petugasnya menyebutkan nomor plat kendaraannya. Bahkan, wajah dari orang yang melanggar tata tertib lalu lintas pun dimunculkan dan terlihat jelas dalam video tersebut.

Muncul pertanyaan dalam benakku: orang-orang ini, tahu tidak ya kalau video yang menampilkan wajah mereka ini diunggah di dunia maya?

Kalau aku yang menjadi pelanggar tata tertib lalu lintas, aku bakal marah video diriku diunggah di dunia maya. Kalau tidak pakai helm, kita tetap disuruh turun atau putar balik. Kalau menerobos lampu merah atau lawan arus, kita tetap dimendapat surat untuk sidang di pengadilan. Terus, kenapa aku masih harus dipermalukan lagi?

Untuk efek jera?

Ya ampun, aku pernah mendapat surat untuk sidang tindak pidana ringan di pengadilan karena menerobos lampu merah. Dan sekali itu, aku sudah jera. Sumpah. Ngantrinya lama banget! Mengisi formulirnya mengantri, sidangnya mengantri, mau bayar dendanya juga mengantri. Jangan lagi-lagi aku membuang waktu untuk mengantri seperti itu.

Aku kemudian teringat pada tetanggaku yang fotonya dimasukkan ke mading di sekolah anaknya karena beliau masuk ke area sekolah menggunakan daster. Memang sih, ke sekolahan mengenakan daster itu tidak patut. Tapi apakah tidak bisa ditegur baik-baik?

Tetanggaku merasa jengkel namun tidak mau ribut dengan pihak sekolah karena khawatir akan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan pada anaknya. Pada akhirnya, sekolah mencopot foto tetanggaku dan semuanya kembali baik-baik saja.

Saat aku menceritakan kisah tetanggaku pada seorang teman, temanku menanggapi, "mempermalukan seseorang sudah lama menjadi budaya sekolah dengan alasan untuk mendidik dan memberi efek jera. Kamu kan pernah sekolah. Kenapa kaget gitu, sih?"

Aku merenung. Mencoba mengingat-ingat kejadian selama aku bersekolah. Aku kemudian ingat ketika aku SMA. Saat upacara bendera, anak-anak yang tidak beratribut lengkap 'dipajang' di depan peserta lainnya sehingga semua orang bisa melihat kalau anak-anak ini melakukan kesalahan. Lalu ada juga saat dimana anak-anak yang tidak mengerjakan PR disuruh berdiri di depan kelas dan menjadi sasaran usil teman-temannya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline