Lihat ke Halaman Asli

Meita Eryanti

TERVERIFIKASI

Penjual buku di IG @bukumee

Kata Nenek Saya, Orang Hamil Tidak Boleh Makan Daging Kambing

Diperbarui: 8 Februari 2019   17:26

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

food.detik.com

"Dia nggak apa-apa makan sate kambing?" tanyaku pada ibu mertuaku saat melihat Sasa, saudara sepupu suamiku yang tengah hamil besar, 'menyambar' sate daging kambing yang baru selesai aku sajikan di meja makan .

Sasa adalah anak dari Nde Maryam. Kakak dari ibu mertuaku. Dia tinggal di sebelah kanan rumah mertuaku bersama kedua orang tuanya. Suami Sasa bekerja dan tinggal di Cilegon. Dia pulang seminggu sekali ketika libur.

Hari libur ini, aku dan keluargaku menyempatkan diri untuk menginap di rumah mertuaku di daerah Karawang. Seperti peta populasi kebanyakan wilayah di perkampungan, daerah tempat mertuaku tinggal dikelilingi oleh saudaranya. 

Sebelah kanan rumah mertuaku, adalah rumah kakak dari ibu mertuaku. Sebelah kirinya, adalah rumah adik dari bapak mertuaku. Depannya, adalah rumah dari sepupu bapak mertuaku. Dan bisa dikatakan, kalau dirunut, semua orang di kampung itu masih bersaudara. Karena merasa dekatnya, kadang orang tidak sungkan untuk masuk ke rumah orang lain hingga ke meja makannya.

"Nggak apa-apa, Neng," kata ibu mertuaku sambil menepuk pundakku. "Dia ngidam sate kambing dari kemarin, kesian kalau tidak dituruti ntar ngiler anaknya."

"Tapi kata nenek saya, orang hamil nggak boleh makan sate kambing. Nanti bayinya bisa lahir prematur," ujarku.

"Itu kepercayaan orang Jawa," sahut Sasa sambil menatap lurus ke arahku. "Orang Jawa mah, banyak aturannya. Makanya waktu kecil Wening suka banget ngiler. Orang hamil itu harusnya makan yang banyak biar nggak setres dan anaknya lahir sehat."

Aku mengangkat bahu. Wening, anakku yang berusia 5 tahun, yang sedang asyik makan sate kambing ikut menatapku sambil berkedip beberapa kali. Aku memilih diam saja sambil mengelus-elus kepala Wening dan menyuruh Wening melanjutkan makan.

***

Keesokan harinya, aku terbangun karena mendengar teriakan dari rumah sebelah. Aku mengejap-ejapkan mataku yang masih enggan untuk terbuka. Aku menyalakan lampu kamar dan melihat jam di atas nakas. Pukul 4 dini hari. Bahkan adzan subuh pun belum berkumandang. Aku melihat suamiku yang terduduk sambil mengucek-ucek matanya.

"Ada apa, Dik?" tanya suamiku.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline