Lihat ke Halaman Asli

Sebar Kembang

Diperbarui: 19 Desember 2018   15:19

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Solihin petani sukses itu masih menggantungkan pikirannya pada dipan tua. Beberapa bayangan sedang menghantuinya, menguras energi dan waktunya. Sepekan ini, ia sedang sibuk bertempur dengan hama di ladangnya. Masa panen sebentar lagi tiba. 

Namun, di tahun ini ia tampak berbeda tidak seperti tahun panen sebelumnya--di mana masa menjemput panen tiba. Guratan-guratan kecil di wajahnya kian hari tampak jelas. Begitu pula dengan tubuhnya seperti tengkorak hidup saja. Jika ia berdiri di tengah ladang, seperti orang-orangan sawah yang biasanya dibuat oleh para petani untuk menakut-nakuti burung yang menyerbu tanaman mereka.

Desiran angin malam merambai tubuh kurusnya, namun kuat beberapa saat kemudian. Mata Solihin beberapa kali ia kedipkan untuk memastikan bahwa ia berada dalam kehidupan nyata. Pedih, perih, dan sesak. Terkadang kepalanya menggeleng sembari mengedumel tak jelas. Ia juga sesekali sengaja memukul-mukul kepalanya pada dinding rumah bata itu. 

Dua jam telah berlalu, Solihin masih mematungkan diri. Solihin dikerumuni kegelisahan ketika ia akan memejamkan mata. Tidak mengantuk. Mau keluar namun tidak tahu arah yang akan ia tuju karena waktu sudah menunjukan malam. Sedang penghuni bumi juga sudah bermain-main dengan mimpinya sebagai pengobat rasa lelah, seharian bekerja di ladang, atau di kantor, atau tempat lainnya.

Kukuruyuuuuuukkkkkk...

Suara ayam Solihin bernyanyi merdu menyambut pagi yang cerah dengan segala keindahannya.

 "Ada apa masih jam segini Si tumang sudah berkokok?" ungkap Sholihin tidak mengerti.

Solihin melirik jam dinding yang menjadi teman sekaligus nyanyian malam. Dentuman jam dinding terasa semakin parau di telinga tua Solihin. Menit kedua puluh lepas pukul satu, Solihin tetap termenung layaknya seseorang yang sudah tidak mempunyai semangat maupun tujuan hidup. Pikirannya melayang-layang. Beban hidup yang sedang ia alami seakan-akan mencabik daging beserta tulang-tulangnya yang mungkin sebentar lagi akan habis dimakan usia.

Istri Sholihin, Paitun sudah tertidur di sebelah kanan Solihin bersandar. Sesekali mata Sholihin keriput dan sayu melirik lembut gerak tubuh Paitun yang sudah memasuki kepala lima. Balik kanan, balik kiri, tengkurap, dan terlentang tidak karuan. Dilihat dari fisiknya, Paitun memang sedang tidur, namun siapa yang tahu batinnya. Pikiran dengan bayangan entah seperti apa. Atau mungkin memang ada benarnya, pikirannya sedang berada dalam kejauhan, seperti dalam pikiran Solihin saat ini.

Tetesan embun pagi membasahi dahan-dahan ranting yang sewaktu-waktu ditunggu Paitun untuk bahan bakar. 

Jika musim kemarau tiba, dan ketika urusan ladang sudah terselesaikan, ia lebih banyak menghabiskan waktunya untuk pergi ke hutan untuk bercengkerama bebas bersama burung-burung kecil. Begitupula tumbuhan yang hidup berlukar sebagai sahabat sejati ketika ia menunggu ranting-ranting pohon yang jatuh. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline