Lihat ke Halaman Asli

Utak Atik AFI

Diperbarui: 20 Juni 2017   14:31

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

dok.pribadi

Seorang teman wartawan memperlihatkan pesan WhatsApp dari seseorang yang isinya meminta dia menjadi peserta seminar penyusunan “Naskah Akademik AFI”.  Acara berlangsung di hotel…. (tentative), dan para peserta akan menginap selama tiga hari di hotel.

Walau pun tidak ada kepanjangan dari kata AFI, bisa dipastikan kata itu merupakan singkatan dari Apresiasi Film Indonesia, sebuah festival film yang sudah diselenggarakan oleh pemerintah selama 4 kali. Entah dongeng apa lagi yang akan dibuat dengan rencana seminar penyusunan “Naskah Akademik” itu.

Sebelum masuk pada pokok bahasan, penulis perlu memaparkan sejarah pembentukan dan penyelenggaraan AFI yang sudah berlangsung sebanyak 4 (empat) kali itu.

AFI lahir tahun 2012. Waktu itu pembentukan AFI memang tidak terlepas dari kesan adanya keinginan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) untuk menunjukkan posisi sebagai kementerian yang membawahi perfilman. Kedudukan itu sesuai dengan bunyi UU No.33 tahun 2009. Sementara, sebagian besar kegiatan perfilman masih ditangani oleh Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, kementerian yang dibentuk setelah Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata dan (Kemenbudpar) ditiadakan.

Meski pun pemerintah melalui Kemenparekraf telah memiliki Festival Film Indonesia, tetapi atas nama kewenangan terhadap perfilman, Kemdikbud mendirikan AFI.  Maka terbentuklah dua festival film yang sama-sama menggunakan anggaran pemerintah. Agar terkesan beda, disebutkan kriteria film-film peserta dalam AFI, antara lain harus memiliki kekhasan tersendiri, yakni memiliki muatan budaya. Walau pada gilirannya, peserta FFI dan AFI sebagian besar sama.

Sejak tahun 2014, setelah Kemenparekraf dibubarkan, FFI dipindahtangankan ke Kemdikbud, sehingga Kemdikbud menanggung beban penyenggaraan dua festival film. Apakah itu merepotkan? Tentu saja tidak. Sejauh ada uang, tidak ada yang sulit di dunia ini. Apalagi ada badan swasta mandiri bernama Badan Perfilman Indonesia (BPI) yang tugasnya antara lain menyelenggarakan festival film di dalam negeri. Kepada BPI-lah Kemdikbud menyalurkan anggaran untuk membiayai FFI dan AFI.

Namun pada tahun 2015 ada ketidaksesuaian paham antara Pusat Pengembangan Perfilman (Pusbang Film - organ di bawah Kemdikbud) dengan BPI dalam soal pembiayaan untuk pelaksanaan AFI. Sehingga ditunjuklah Abdullah Juliarso (Dudung), seorang pensiunan perwira TNI AL yang lebih dikenal sebagai penggiat film dibandingkan pensiunan tentara, sebagai Ketua Panitia Pelaksana AFI 2015 di Yogyakarta.

Dengan pengalamannya sebagai penggiat film, dan dasar keilmuan yang dimilikinya sebagai alumnus Institut Kesenian Jakarta Jurusan Film, Dudung telah menyusun semacam cetak biru format penyelenggaraan AFI yang membuatnya berbeda dengan FFI. Komunitas film adalah kelompok yang menjadi target peserta AFI ke depan.

Sayang persaingan di dunia film yang begitu keras, membuat Dudung terpental.

Dia yang telah membuka jalur pelaksanaan AFI di Manado, Sulut, pada tahun 2016, justru ditinggalkan begitu saja. Sejak itu Dudung sakit, hingga meninggal dunia. Tahun 2016 AFI kembali direbut BPI.

Dalam obrolan penulis dengan Kepala Pusbang Film Dr. Maman Wijaya tahun lalu, sempat muncul wacana pemerintah akan menyatukan penyelenggaraan AFI dengan FFI. Kedua festival itu tidak perlu dipisah-pisah karena baik penyelenggaraan hingga pelaksanaan, nyaris hampir mirip. Menurut Maman, pemerintah berpikir untuk membuat hanya sebuah festival film, tetapi lebih besar dari yang ada sekarang ini.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline