Lihat ke Halaman Asli

Langit Cahya Adi

Technical Assistant

Budaya Ilmiah Nggak Hanya Buat Ilmuwan!

Diperbarui: 16 November 2022   13:03

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Salah satu perpustakaan di l'Université de Bordeaux - Perancis (dokumen pribadi)

Dengan menggunakan fitur tanya-jawab (Question) di Instagram, seorang teman lama bertanya pada Instagram Story akunnya seperti ini, "Menurut kalian, apakah skripsi perlu buat kuliah jenjang sarjana strata satu (S-1)?" Bila dilihat dari jumlah pengikutnya yang mencapai 4 digit, bisa dibilang ia seseorang yang punya pengaruh di luar maupun di dalam jagad internet.

Saya yang kebetulan sedang membuka unggahan itu menjawab, “Perlu, karena untuk melatih mahasiswa untuk berpikir/berbudaya ilmiah.”

Dia merespon tanggapan saya di Instagram dengan berucap, “Iya sih, tapi ‘kan nggak semua mahasiswa akan jadi ilmuwan.”

Baiklah. Kita semua sudah mengerti bahwa salah satu peran perguruan tinggi ialah untuk jadi pusat sekaligus mengembangkan ilmu pengetahuan melalui aktivitas pengajaran kepada dan belajar oleh mahasiswa/i dan kegiatan riset atau penelitian. Hanya saja, meskipun benar tidak semua mahasiswa akan jadi ilmuwan, apakah benar bahwa berbudaya ilmiah hanya diperuntukkan bagi para ilmuwan saja?

Lagipula, berbudaya ilmiah itu seperti apa?

Kita akan mendapatkan banyak pengertian bila kita mencari definisinya dari berbagai referensi tetapi secara garis besar, berbudaya ilmiah dapat kita pahami sebagai sikap hidup yang dipandu oleh sikap hidup yang dipandu oleh kaidah atau metode ilmiah. Kita hidup mengacu oleh ilmu karena lewat ilmu-lah segala sesuatu yang dapat teramati bersifat bisa dipelajari secara terstruktur.

Terminologi “metode ilmiah” tidak mesti menyangkut dan mengandung penelitian yang rumit berbekal seabrek teori dari buku atau publikasi ilmiah, melainkan tentang kemampuan mengidentifikasi masalah yang dapat diamati secara empiris dengan cermat dan mencoba mengaitkan masalah tersebut dengan teori atau pengetahuan berbekal ilmu yang sudah ada dan relevan demi mendapatkan jawaban dan penjelasan yang sifatnya rasional.

Dengan ilmu kedokteran, kita dapat mendiagnosis gangguan di dalam badan kita sekalipun kita menyangkalnya dan firasat kita berkata kita baik-baik saja. Berbekal ilmu astronomi, gerhana terbukti sebagai peristiwa alam biasa yang bahkan bisa diprediksikan kapan terjadinya, bukan karena benda langit diterkam oleh raksasa jahat.

Menggunakan ilmu sejarah, kita mampu menelusuri arsip-arsip kerajaan di Nusantara dan mengerti adab dan adat yang dipraktikkan pada kurun waktu tertentu serta, mungkin, menguak fakta tak semua penguasa sebaik yang diceritakan turun-temurun dari mulut ke mulut. Berkat ilmu psikologi, seseorang yang gangguan mental dapat ditolong, bukannya dikurung karena dianggap kerasukan setan.

Maka, antitesis dari budaya ilmiah ialah pola pikir irasional seperti berpikir berlandaskan takhayul dan istilah yang paling sesuai dengan konteks situasi di Indonesia hingga hari ini bisa jadi ialah yang biasa disebut oleh Tan Malaka sebagai logika mistika seperti yang dia tuliskan di dalam “Madilog” dan “Aksi Massa”. Bukankah Mochtar Lubis melalui bukunya “Manusia Indonesia” juga menyatakan bahwa salah satu ciri utama manusia Indonesia ialah percaya kepada takhayul?

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline