Peluncuran buku "Suta Naya Dhadhap Waru" (SNDW) karya Iman Budhi Santosa (IBS) beberapa hari yang lalu, Sabtu (25/3) di Taman Budaya Yogyakarta, rupanya menjadi catatan berharga bagi saya. Apalagi jauh sebelum itu saya telah banyak membaca tulisan-tulisan IBS baik berupa puisi, geguritan (puisi dalam bahasa Jawa), esai (artikel, opini) yang diungkapkan melalui berbagai media maupun forum. Buku tersebut berbicara mengenai potret manusia Jawa yang belajar pada tumbuhan. Renville Siagian, sahabat IBS, dalam tulisan pembuka buku SNDW menyitir ungkapan William Shakespeare "What's in a name?" (Apalah arti sebuah nama?). Pertanyaan inilah yang memicu IBS mencari asal-usul pemberian nama desa di Jawa menggunakan nama tumbuhan.
Sebelum membahas buku SNDW barangkali perlu kiranya mengenal sosok IBS melalui tulisan-tulisannya. Di tahun 2000-an, beliau banyak bercerita (menulis) secara simbolik kisah-kisah pewayangan (Cupu Manik Hasthagina, Kumpulan Puisi Wayang, 2015). Cerita-cerita semacam inilah yang agaknya masih asing (sulit dicerna) maknanya bagi anak muda sekarang, kecuali dengan membaca kisah cerita lengkap sebelumnya. Keprihatinannya pada tanah Jawa (dianggap mati), tercermin dalam karya puisi Ziarah Tanah Jawa (2009). Beliaupun juga banyak bercerita tentang Yogyakarta (bagian dari tanah Jawa), tempat beliau ditempa menjadi penulis tak kenal lelah dan pantang menyerah.
IBS, lelaki kelahiran Magetan tahun 1948, kini merasa lahir kembali di Yogyakarta. Seperti yang beliau ungkapkan dalam puisi "Di Pangkuan Yogya" (2011), Pemenang II Lomba penulisan Puisi Jogja Erna Literary Foundation 2012. Pembelaan IBS terhadap nama Yogyakarta tertulis dalam salah satu artikelnya berjudul "Yogyakarta, bukan Jogjakarta" (Mbongkar Yogya, 2016) menegaskan kepada kita bahwa beliau sangat menghargai asal-usul nama, apalagi nama yang dipakai bermakna baik.
Pembelaan beliaujuga terhadap keberlangsungan kegiatan sastra tercermin dari opini beliau, yakni dengan mendorong masuknya kegiatan sastra dalam agenda rutin Festival Kesenian Yogyakarta (FKY). Itulah wujud keberpihakan beliau pada dunia sastra yang sunyi dan jauh dari hiruk-pikuk kemewahan, tetapi senantiasa memuliakan kehidupan.
Buku SNDW merupakan karya penelusuran IBS secara intens terhadap nama desa yang menggunakan nama tumbuhan, khususnya desa-desa di wilayah Jawa Timur/Jawa Tengah/DIY. Kata Suta Naya (,) Dhadhap Waru itu sendiri merupakan gambaran rakyat kecil (awam) yang tak punya derajad dalam status kemasyarakatan. Pengertian ini lebih mengarah pada para petani Jawa yang setia belajar pada dan bangga dengan nama tumbuhan, serta berjiwa mengalah seperti tanah.
Mereka sering mengalah (narima ing pandum) dihadapkan pada keadaan, tetapi sebenarnya tak terkalahkan kemuliaan mereka. Karena kedekatan mereka pada tanah dan tumbuhan, maka mereka namakan desa mereka dengan nama tumbuhan. Berdasarkan buku karya K. Heyne setebal 2.400 halaman, IBS menemukan sebanyak 324 nama tumbuhan yang dipakai sebagai nama desa-desa.
Setiap nama tumbuhan diberikan nama latinnya, gambaran sekilas kegunaannya, serta dilengkapi dengan tabel desa/kelurahan yang menggunakannya. Penelusuran IBS mencatat dalam bukunya bahwa nama tumbuhan Jati (Tectona grandis) adalah yang terbanyak digunakan orang Jawa sebagai nama desanya.
Acara peluncuran buku SNDW dibuka dengan musik puisi Nankinun, dilanjutkan dengan pertunjukan IBS, dan pembahasan buku oleh Emha Ainun Najib, Renville Siagian, dan Nana Ernawati, dan tanya-jawab. Cak Nun (Emha Ainun Najib) mengapresiasi buku SNDW sebagai karya seorang Empu Agung, Empu Agung Iman Budhi Santosa, yang selayaknya dunia perguruan tinggi merasa malu (dipermalukan), dan yang bersangkutan semestinya layak mendapat gelar Doktor Honoris Causa.
Sedangkan Nana Ernawati menganggap Suta Naya Dhadhap Waru merupakan catatan "orang-orang kecil" penyangga kehidupan. IBS sendiri merasa bahwa karyanya SNDW tak pernah berhenti pada suatu titik kesempurnaan, tetapi perlu masukan-masukan, barangkali ada yang tercecer atau merasa desa mereka yang bernama tumbuhan belum dimasukkan ke dalam bukunya. Silahkan untuk memberikan masukan (kritik, dan saran) !
1) Sampul depan buku Suta Naya Dhadhap Waru (Foto : Kompasianer)
2) Suasana peluncuran buku Suta Naya Dhadhap Waru (Foto : Kompasianer)