Lihat ke Halaman Asli

Mardi Sirait

Administer Social Justice

Menegakkan Identitas di Tengah Disrupsi Zaman

Diperbarui: 4 Oktober 2020   15:22

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Michaelangelo.org

Ketika kita berada di dalam generasi yang serba terhubung, tetapi kita juga harus mengakui di lain sisi, kita berada pada generasi yang kesepian dan kebingungan.

Generasi yang serba eksis, tetapi sekaligus kehilangan akan identitas dan jati diri yang sebenarnya.Tak jarang mereka merasa hampa, karena mengisi diri dengan kekosongan.

Sehingga, sangat candu atas apresiasi-perhatian orang lain, terlebih ditengah era digital dan media sosial, tak sedikit kita berburu perhatian orang lain melalui moticon -Jempol, Like yang diterima. Ironisnya, kita menempatkan identitas, kebernilaian kita di dalam hal demikian. Kita memasuki abad pembiusan; terdisrupsi, hampa-kosong dan candu.

Abad dimana mengagungkan kebebasan, tetapi tidak sadar telah masuk dalam jerat ketidakmerdekaan dari kebebasan itu sendiri. Menyangka dengan kebebasan bisa melakukan semua hal, justru kebebasan demikian tidak memberikan kemerdekaan itu sendiri.

Imanuel Kant dalam bahasan kebebasan mempertanyakan kebebasan itu sendiri. Apa itu kebebasan? Kemerdekaan melakukan segala sesuatu? Keleluasaan mendapat apa yang diinginkan?, justru itu bukan bebas, malah terjerat pada kebebasan itu sendiri. Bebas artinya berkuasa dan mampu melakukan apa yang diinginkan dan tidak diinginkan. Itulah yang disebut kebebasan, merdeka dan berkuasa memilih atau tidak memilih sesuatu hal.

Di dalam era informasi yang pergerakan informasi sangat meluap dengan begitu derasnya, tetapi juga sekaligus kita berada pada masa yang dengan pengertian yang dangkal. Kita berada hanya pada tataran dasar sebuah informasi dan data, belum kepada tahap akhir dari sebuah informasi-data, yaitu hikmat dan kebijaksanaan.

Tak heran kita selalu reaktif dan juga 'sensi', 'baper' dan uring-uringan atas respon orang lain kepada kita. Tak jarang waktu dan pemikiran kita tergerus kepada hal-hal yang bersifat pribadi. Sehingga mendorong berkembangnya individualistik dan merosotnya semangat kebersamaan. 

Hal demikian membuat kita tidak ramah atas perbedaan, nihil "critical thinking", minim dengan empati, matinya hati yang berbelas-kasih kepada orang lain dan beringas di saat kepentingan kita terancam. Semakin lama, kita semakin mengingkari kesejatian hakikat seorang manusia, tetapi semakin lama kita semakin menyerupai sifat 'binatang'.

Generasi yang kemajuannya yang sangat muhtakhir, tetapi juga diiringi majunya egoistik dan miskin belaskasih sekaligus terjadinya disrupsi spritualitas. Kita berada pada zaman yang "EKSIS" namun "KOSONG" dan hilang IDENTITAS (kalau kita jujur merefleksikan). Tak heran di zaman yang maju ini, tak sedikit kita yang kehilangan identitas, kehilangan arah, berada dalam kekosongan, kesepian dan banyak yang bunuh diri ditengah kesuksesan manusia.

Filsafat abad 19 dan 20 menjadi warna ditengah-tengah eksistensi manusia kini. Abad yang menjadi era uji coba dari pemikiran-pemikiran filsuf sebelumnya. Telak benar yang disampaikan Sang Pengkotbah, "tidak ada yang baru dibawah kolong langit". Kita berada dalam pengaruh pemikiran mereka; dari Nietzsche, Kierkegaard dalam " Eksistensialisme", hingga 'New Age Movement' - dari "Absolut Geist (Semangat - Roh yang mutlak) ke semangat relativisme dan psikologi positive 'Sigmund Freud'_Positivisme-Logika.

Sehingga, ketika kita diperhadapkan dan dipertentangkan dengan filsafat dunia sebagai suatu wawasan dan sebuah konsep memandang dunia, maka perlawanan prinsip dari suatu sistem kehidupan tersebutlah yang perlu dipertahankan dan dikuatkan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline