Lihat ke Halaman Asli

Roni Ramlan

Pembelajar bahasa kehidupan

Hujan dan Kesumpekan Manusia

Diperbarui: 13 Oktober 2020   00:09

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Derasnya hujan yang turun di tengah malam kemarin nyata belum benar-benar lekas berpamitan pulang, dan itu terlampiaskan sudah dalam ritme gerimis di Senin pagi sebagai tuan.

Tuan yang kehadirannya kerapkali banyak diperbincangkan, entah itu oleh para atasan pun atau khalayak kerumunan karyawan. Tuan yang kehadirannya selalu dalam persimpangan di antara dua keadaan; beranjak dari rasa malas dan ketepakasaan. Tuan yang lambat-laun menjadi tanda sukses-tidaknya satu tujuan dan tindakan.

Loh, mengapa demikian? Sebagai faktanya, bukankah setiap masing-masing kita lebih suka menghabiskan waktu libur tiba bersama dengan keluarga tercinta? Bukankah, dikala waktu libur tiba, kepayahan yang acapkali kita cari adalah kebebasan dari setiap tekanan yang ada.

Alhasil sebagai bentuk realisasinya, bercengkrama, mengumbar tawa dan saling melontarkan sepenggal humor atau berbagi pengalaman dalam wujud cerita bersama pasangan dan anak-anak adalah candu yang senantiasa diidam-idamkan atas segudang kesumpekan  dalam rutinitas kehidupan masing-masing kita.

Diamini ataupun tidak, bagaimanapun fokus satu rutinitas yang kita geluti lebih banyak menyita waktu dan mengharuskan kita mengorbankan sesuatu hal penting yang menegaskan diri kita adalah bagian dari itu.

Sebutkanlah sesuatu yang senantiasa kita korbankan itu di antaranya; melewatkan kebersamaan dengan keluarga, menghabiskan waktu dengan teman-teman, waktu untuk diri sendiri, waktu untuk menjalankan hobi, menikmati kedamaian dan keheningan, kesempatan untuk menikmati hal-hal yang indah dan lain sebagainya.

Untuk lebih mudah memahaminya, kita ambil salah satu contoh sebagai pendeskripsiannya. Misalnya saja, dalam menjalani kehidupan ini, siang-malam hampir dua puluh empat jam kita berusaha fokus mengejar karier. Maka yang terjadi selanjutnya, secara sadar ataupun tidak, pasti akan ada banyak hal yang tersisihkan bahkan tidak menutup kemungkinan bisa terlupakan begitu saja.

Padahal, jika diruntut dari sekian banyak alasannya, semua tindakan yang kita lakukan tidak lain bermula dari keajegan pilihan yang kita putuskan secara sadar. Entah itu dalam kemantapan atau mungkin hanya sekadar mengikuti alur semata.

Namun meskipun demikian, tetap saja pada satu waktu tertentu, seakan-akan dalam menjalani suatu rutinitas yang menjadi pilihan itu kita melulu merasa digiring menuju jurang kesumpekan.

Lantas mengapa berujung tragis demikian? Apa memang yang menjadi pilihan kita tidak sesuai dengan kebutuhan? Atau malah yang menjadikan segala sesuatu berujung pada kesumpekan tersebut secara tidak langsung bergantung pada prakondisi, cara kita mengendalikan persepsi dan kurangnya rasa syukur atas semua hal yang kita jalani.

Dalam konteks kategorisasi waktu yang bersandar pada sederet pilihan dan putusan kehendak inilah, Steve Henry dalam buku "You Are Really Rich You Just Don't Know It" (2009) berusaha mempertanyakan kembali esensi dari rutinitas kehidupan yang masing-masing kita jalani.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline