Lihat ke Halaman Asli

luthfi mutaali

pembelajar/dosen/peneliti/konsultan

DAMPAK BERANTAI PHK GUDANG GARAM. Krisis Keberlangsungan Hidup Pekerja dan Tantangan Daerah

Diperbarui: 8 September 2025   05:48

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

https://share.google/images/miJZLjtxsJcvHfgVg

Sedih dan prihatin. Fenomena pemutusan hubungan kerja (PHK) yang terjadi secara massal di PT Gudang Garam Tbk., salah satu raksasa industri tembakau di Indonesia, khususnya di Kediri, Jawa Timur, telah menjadi isu yang mengemuka dan memicu keprihatinan mendalam. Laporan dari berbagai media, termasuk CNBC Indonesia (2025), mengindikasikan bahwa ribuan pekerja terimbas oleh kebijakan ini, sebuah peristiwa yang tidak hanya berdampak pada individu pekerja, tetapi juga menciptakan riak-riak signifikan pada struktur sosial-ekonomi masyarakat dan pemerintah daerah. Sangat Penting untuk memahami secara mendalam komplektivitas problem ini bagi pekerja maupun daerah,  dari perspektif sosiologi dan ekonomi dan merumuskan solusi kebijakan yang efektif.

Dari sudut pandang ekonomi, PHK massal yang menimpa ribuan pekerja Gudang Garam secara langsung memutus aliran pendapatan utama bagi banyak rumah tangga. Konsekuensi ekonomi langsung dari hilangnya pekerjaan ini tidak hanya terbatas pada hilangnya gaji bulanan, tetapi juga mencakup terputusnya akses terhadap berbagai bentuk tunjangan, seperti jaminan kesehatan, dana pensiun, dan fasilitas lain yang menopang kualitas hidup. Penelitian terdahulu mengenai dampak PHK di sektor manufaktur secara konsisten menunjukkan bahwa pekerja yang diberhentikan mengalami penurunan pendapatan yang drastis, yang secara langsung memengaruhi kemampuan mereka untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti pangan, sandang, dan papan (Santoso, 2020). Dalam konteks hiperinflasi dan ketidakpastian ekonomi global, dampak ini menjadi semakin berat, memaksa banyak keluarga untuk melakukan penyesuaian drastis dalam pola konsumsi, bahkan hingga terpaksa menjual aset yang tersisa untuk bertahan hidup.

Lebih jauh lagi, dampak ekonomi PHK ini tidak hanya berhenti pada tingkat rumah tangga pekerja, tetapi juga menciptakan efek domino yang meluas ke seluruh perekonomian lokal. Berkurangnya daya beli ribuan mantan pekerja berarti menurunnya permintaan agregat di tingkat lokal. Sektor-sektor ekonomi yang selama ini bergantung pada pengeluaran para pekerja, seperti UMKM, warung makan, toko kelontong, dan penyedia jasa lokal, akan mengalami penurunan omzet yang signifikan. Fenomena ini berpotensi memicu siklus negatif, di mana pelemahan bisnis dapat berujung pada PHK tambahan di sektor-sektor tersebut, memperparah kondisi sosial-ekonomi secara keseluruhan. Studi oleh Bank Dunia (2021) secara tegas menggarisbawahi bahwa krisis ketenagakerjaan yang dipicu oleh PHK massal dapat meningkatkan angka kemiskinan dan kesenjangan pendapatan secara eksponensial, terutama jika tidak diimbangi dengan intervensi kebijakan yang tepat sasaran dan memadai.

Dari perspektif sosiologi, dampak PHK jauh melampaui sekadar kerugian finansial. Kehilangan pekerjaan seringkali berkonotasi dengan hilangnya identitas sosial, rasa harga diri, dan status dalam masyarakat. Bagi banyak individu, pekerjaan bukan hanya sumber nafkah, tetapi juga merupakan fondasi dari rasa kebermaknaan hidup dan interaksi sosial yang penting. PHK dapat memicu perasaan malu, putus asa, kecemasan, dan alienasi dari lingkungan sosial (Wijaya & Lestari, 2019). Terutama bagi pekerja yang telah mengabdikan sebagian besar hidupnya di perusahaan, proses adaptasi terhadap status pengangguran bisa menjadi pengalaman yang sangat traumatis dan penuh tantangan psikologis.

Selain itu, PHK massal dapat mengoyak tenunan kohesi sosial di tingkat komunitas. Ketika banyak anggota masyarakat kehilangan pekerjaan, rasa solidaritas dan saling ketergantungan dalam komunitas dapat menguat sebagai mekanisme bertahan hidup, namun di sisi lain, persaingan untuk sumber daya yang semakin terbatas juga dapat meningkat. Ketegangan sosial dapat muncul akibat persepsi ketidakadilan, baik dalam proses PHK maupun dalam distribusi bantuan sosial. Struktur keluarga juga menjadi sangat rentan terhadap dampak ini. Beban ekonomi yang meningkat dapat menekan hubungan antar anggota keluarga, memicu konflik, dan secara tidak langsung mempengaruhi perkembangan anak-anak yang harus menyaksikan orang tua mereka berjuang untuk memenuhi kebutuhan dasar. Penelitian sosiologis tentang dampak pengangguran secara konsisten menunjukkan bahwa krisis ekonomi yang berkepanjangan dapat merusak tatanan sosial dan memperlebar jurang pemisah antar kelompok masyarakat (Putra, 2022).

Menghadapi situasi yang kompleks dan berpotensi krisis ini, peran pemerintah daerah Kabupaten dan Kota Kediri menjadi sangat vital dalam memberikan perlindungan dan fasilitasi bagi para pekerja yang terdampak. Berdasarkan analisis sosiologi-ekonomi dan pengalaman penelitian yang luas, beberapa rekomendasi kebijakan strategis perlu segera dipertimbangkan dan diimplementasikan:

Pertama, penguatan dan perluasan jaring pengaman sosial yang responsif dan berkelanjutan. Pemerintah daerah harus segera melakukan identifikasi yang akurat terhadap jumlah pekerja yang terkena PHK beserta data demografis dan kondisi sosial ekonomi keluarganya. Data ini menjadi landasan krusial untuk menyalurkan bantuan sosial yang tepat sasaran, seperti bantuan pangan, subsidi kebutuhan pokok, atau bantuan tunai langsung. Sangat penting untuk memastikan bahwa proses penyaluran bantuan ini dilakukan secara efisien, transparan, dan bebas dari stigma negatif bagi para penerima. Selain itu, perlu dijajaki skema bantuan lanjutan yang dapat membantu para pekerja dan keluarganya bertahan dalam jangka menengah, seperti subsidi biaya pendidikan anak atau bantuan perawatan kesehatan.

Kedua, fasilitasi akses terhadap pelatihan keterampilan dan program kewirausahaan yang relevan dengan kebutuhan pasar kerja. Kehilangan pekerjaan, terutama akibat restrukturisasi industri, seringkali berarti keterampilan yang dimiliki pekerja menjadi kurang relevan dengan tuntutan pasar kerja yang terus berubah. Oleh karena itu, pemerintah daerah harus berinvestasi secara signifikan dalam program pelatihan keterampilan yang berorientasi pada kebutuhan pasar atau sektor ekonomi yang sedang berkembang pesat. Pelatihan ini harus mencakup keterampilan teknis yang sedang diminati, serta keterampilan lunak (soft skills) yang krusial untuk adaptasi, seperti kemampuan pemecahan masalah, literasi digital, dan kreativitas. Lebih penting lagi, program inkubasi bisnis dan dukungan kewirausahaan perlu digalakkan secara masif. Pemberian akses yang mudah terhadap modal mikro, pendampingan bisnis yang intensif, dan fasilitasi pemasaran bagi mantan pekerja yang berminat membangun usaha sendiri merupakan langkah strategis untuk menciptakan kemandirian ekonomi dan lapangan kerja baru.

Ketiga, membangun sinergi dan kemitraan yang kuat antara pemerintah daerah, sektor swasta, dan komunitas. Pemerintah daerah tidak dapat bekerja dalam isolasi. Dibutuhkan kolaborasi yang erat dengan PT Gudang Garam sendiri untuk memastikan bahwa proses PHK dilakukan dengan cara yang manusiawi, adil, dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan serta standar etika. Perusahaan juga dapat didorong untuk berperan aktif dalam program pelatihan dan penempatan kerja bagi mantan karyawannya. Selain itu, menjalin kemitraan yang solid dengan UMKM lokal, asosiasi industri, lembaga pendidikan, dan organisasi kemasyarakatan akan sangat membantu dalam menciptakan ekosistem yang kondusif untuk penciptaan lapangan kerja baru dan pengembangan kewirausahaan.

Keempat, peningkatan kapasitas sistem data ketenagakerjaan dan pemantauan pasar kerja secara proaktif. Pemerintah daerah perlu membangun dan mengelola sistem informasi ketenagakerjaan yang canggih dan terintegrasi untuk memantau dinamika pasar kerja secara real-time. Data yang akurat mengenai jumlah penganggur, tingkat penyerapan tenaga kerja di berbagai sektor, serta tren kebutuhan keterampilan di masa depan akan menjadi fondasi yang kuat untuk merancang kebijakan yang proaktif, responsif, dan tepat sasaran. Pemahaman mendalam tentang lanskap ketenagakerjaan lokal akan memungkinkan pemerintah daerah untuk mengantisipasi potensi krisis di masa depan dan meresponsnya dengan lebih efektif.

Kelima, promosi diversifikasi ekonomi daerah sebagai strategi mitigasi jangka panjang. Ketergantungan yang tinggi pada satu sektor industri besar seperti industri tembakau membuat perekonomian daerah menjadi rentan terhadap guncangan. Pemerintah daerah perlu secara aktif mendorong dan memfasilitasi pengembangan sektor-sektor ekonomi lain yang memiliki potensi pertumbuhan berkelanjutan, seperti pariwisata berbasis potensi lokal, pertanian bernilai tambah, industri kreatif, atau teknologi informasi. Diversifikasi ini tidak hanya akan menciptakan lapangan kerja baru yang lebih beragam, tetapi juga akan memperkuat ketahanan ekonomi daerah terhadap fluktuasi yang mungkin terjadi di sektor industri tertentu.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline