Lihat ke Halaman Asli

Luthfi Kenoya

Penikmat Senja dan Kopi

Pemira UIN Jakarta E-Voting, Politik Identitas di Balik Kecanggihan

Diperbarui: 19 Maret 2019   23:17

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

image: LPMinstitute

Ini cerita (ex) kampus saya yang sedang mengadakan pemilihan BEM/DEMA, anda boleh saja mengacuhkannya, merasa tidak penting untuk membaca atau berekspektasi tinggi tentang tulisan ini. Mari mulai dengan penerapan e-voting tanpa e-counting, selain karena minimnya kepercayaan (trust) dari mahasiswa, penyelenggara dalam hal ini kampus tidak berupaya mengatasi hal itu semisal dengan adanya live-streaming suara, pengawasan yang diperketat ataupun dengan teknologi canggih. 

Dan anda boleh saja mengatakan, apa pentingnya? Kampus mungkin punya niat baik agar tidak gaduh seperti sebelumnya atau pendapat lain yang lebih abai semisal "udahlah, gak ngaruh kok siapa yang menang. Belajar aja yang bener, kampus tuh bukan buat politik gak malu apa sama kampus lain yang udah ngembangin ini-itu, lah UIN masih aja berantem urusan pemira".

Kita juga bisa melupakannya, mengabaikan siapapun yang menang atau baru mengkritik ketika kalah tapi bersyukur kalau menang karena sudah diuntungkan sistem. Pandangan itu sah, wajar dan normal tetapi tentu saja sebuah wacana tidak muncul di ruang kosong ia terikat dengan kompleksitas struktur. 

Sebagaimana eksploitasi alam diperbolehkan sejauh menguntungkan perekonomian, cara pandangan itu bukan satu-satunya jawaban terkait relasi manusia dan alam, pandangan itu berdasarkan paradigma yang lebih besar atau holistik yakni developmentalisme. Sadar atau tidak sadar itu gak penting, yang penting justru apakah paradigma itu kita biarkan atau justru kita lawan? 

Oleh karenanya dalam hal ini sama juga, apa kiranya yang mendasari penerapan e-voting di UIN Jakarta? Dan kenapa pula mahasiswanya diam? Dua pertanyaan itu sungguh menarik untuk kita refleksikan baik secara akademik ataupun tidak.

Apa kiranya yang mendasari penerapan e-voting di UIN Jakarta?

Asumsi penyelenggara (kampus) penerapan ini akan meminimalisir kecurangan dan kegaduhan, faktanya? Oh no, justru kita mendapati hal sebaliknya. Dan anda boleh mengelek semisal "Tapi kan itu 1 atau 2? Kan gak banyak, HMI masih tetep menang kok di DEMA Univ meskipun rektornya bukan dari HMI". 

Yap, tapi masalahnya itu ukuran kuantitas dan logika transaksi, definisi keadilan macam itu tentu saja buruk bagi iklim demokrasi. Anda sama saja hendak bilang sedikit orang boleh dibunuh demi kepentingan umat atau korban hari ini Islam kemarin non-Islam ya impas dong? Haahaha jangan dulu sewot, saya duga anda akan menjawabnya begini "ya engga dong, itu urusan lain".

Nah, justru jawaban akhir itu yang lebih menarik bagi saya, jawaban yang justru membuktikan kegagalan dunia akademis. Lah kok bisa? Oh iya, metode saintifik menuntut sistematika berpikir dan objektifitas dalam pengambilan sumber (episteme) -- saya bahas di bagian selanjutnya. 

Pertama mari fokus pada dasar penerapan e-voting, alih-alih menunjukan kemajuan teknologi justru malah tanpa peralatan yang memadai, kok maksa sih? Konsep percepapatan atau modernisasi seringkali kontroversi baik skala makro maupun mikro. 

Dalam hal ini percepatan/perubahan seringkali bertolak dari minimalnya dua asumsi, pertama tuntutan zaman atau undang-undang atau kedua, ketidaksabaran untuk melenyapkan status quo.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline