Lihat ke Halaman Asli

Mohammad Lutfi

Tenaga pengajar dan penjual kopi

Tukang Kopi dan Virus Corona di Bulan Kedelapan

Diperbarui: 19 Oktober 2020   13:57

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi penjual kopi | Gambar: Dok. Mantab via Kompas.com

Delapan bulan hingga kini kita masih berkutat dalam bingkai virus corona atau covid-19. Pertanyaan terbesarnya sampai kapan kita akan melawan virus yang tiada habisnya ini?

Menyelisik jawaban tukang ahli, katanya bakal lama virus ini akan hilang sehingga pilihan hidup berdampingan dengannya adalah pilihan yang dipandang tepat. Kata "damai" pun sempat mencuat ke permukaan seolah kita berhadapan dengan para penjahat yang menodongkan pistol ke kepala.

Menyikapi usia ke delapan bulan virus ini menetap di Indonesia, saya akan berbagi cerita dari segelintir orang yang berkeluh kesah perihal virus corona. Sebut saja namanya tukang kopi yang kemudian ia membagi kisahnya dalam beberapa segmen.

Tukang kopi sebelum pandemi

Dulu, kata si tukang kopi kepada saya. Sebelum virus corona menyerang Indonesia, penjualan kopi sangat lancar, dapur ngebul, istri bisa bersolek, biaya sekolah anak terpenuhi dan kebutuhan lainnya terbeli.

Bahkan di akhir pekan bisa jalan-jakan mengitari kota, berlibur ke pantai, pemandian umum, atau pelesir ke pulau sebrang masih bisa dilakukan bersama keluarga.  Kebetulan di tempat kami ada destinasi wisata pulau. 

Pendapatan bersih si tukang kopi sebelum pandemi virus corona sekitar 100 ribu hingga 150 ribu per malam. Lumayan, meski hanya kopi jalanan di pinggir jalan kalau ditabung mencukupi apa yang telah disebutkan di atas.

Katanya lagi, di jalanan, lalu lalang orang dengan motor dan mobil begitu ramai sehingga menambah nikmatnya kopi yang diseruput di pinggir jalan. Hingar bingar suara mesin dan knalpot semacam orkestra yang mengalun indah di telinga. 

Tukang kopi selama pandemi

Namun, sejak bulan Maret lalu ketika kebijakan pembatasan sosial didengungkan, semuanya seperti dunia terbalik. Jalanan sepi, lalu lalang orang tidak ada lagi, pendapatan menurun ke kisaran 20 ribu. Bersolek dan berlibur pun tidak lagi masuk agenda. 

Kebutuhan dasar menjadi fokus utama dalam keberlangsungan hajat hidup keluarga. Sembako menjadi prioritas utama dalam kehidupan rumah tangga agar sekeluarga tetap menghirup napas.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline