Lihat ke Halaman Asli

Kesepian, Pengakuan Seorang Pendosa yang Payah, dan Hari Tanpa Surya

Diperbarui: 15 Desember 2020   00:05

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

@kulturtava


Diam dalam hening. Butuh menepi dalam keadaan hidup. Kejujuran tak lagi termiliki, parahnya itu untuk diri sendiri. Ya, itu pengakuan seorang pendosa yang payah.

Merasa hari-hari yang tersisa hanyalah kehampaan. Lebih seperti duka, bukan, lebih tepatnya sebuah kemalangan. Tak berhasrat untuk hidup. Melemahkan tubuh yang sudah memang kurang berdaya. Mengabaikan mindfulness demi ada dalam hamparan semu. Menjalani hari tanpa surya.

Bisakah menjalani hari tanpa surya?,

Entah. Merelakan diri mengalami syair-syair cuaca di kerumunan luka. Dekapan masa lalu dan aroma masa silam mampu membuat padang ilalang kemunafikan tumbuh di waktu kehidupan.

Kesepian adalah isi dalam chapter di fragmen sekarang ini. Hari tanpa surya, tak ada cahaya matahari yang menyengat tubuh dalam babak demi babak isi wilayah semesta yang ada.

Di jendela Desember ini.
Hari dan dunia yang dicekam ketakutan semakin mendominasi. Tak berhasrat hidup, ingin mati, tapi tak mati.

Ini semua hanya alasan tentang hujan yang tidak seharusnya menjadi hujan. Ini semua hanya tentang kebodohan.

Dan perihal replika bahagia, itu tak lagi ada dalam kolase hati. Saat ini, semua musim bak hamparan dusta dan kepalsuan. Seperti ada di hutan-hutan mati. Di sini, Sumatera pada tengah malam sebelum pukul 00:00. Ah, ini adalah tempat persembunyian waktu yang paling memikat.

Kesepian dan kesendirian beserta rahasia di dalamnya, akan terhempas sementara waktu. Dan esoknya kembali merasakan hari tanpa surya. Ini tentang asa yang diperbolehkan pergi, sebab asa yang dijumpai telah dipadamkan.

Asataga. Ternyata hati sudah lama bertempat tinggal pada kata payah. Tak pernah bercerita apa adanya. Lagi-lagi ini semua tentang luka. Ibarat sayap burung ranggung yang ditiup angin Timur. Berada dalam gantang, seperti perburuan waktu terhadap gelembung dan kupu-kupu yang hilang arah.

Ini bukan ketentuan waktu.
Jujur, ini hikayat airmata.

***
Rantauprapat, 14 Desember 2020
Lusy Mariana Pasaribu




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline