Lihat ke Halaman Asli

Tri Lokon

TERVERIFIKASI

Karyawan Swasta

Sejarah dan Angkernya Benteng Fort Rotterdam

Diperbarui: 4 April 2016   11:19

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Nama Benteng, Fort Rotterdam (dokpri)"][/caption]Tulisan "Fort Rotterdam" dalam ukuran besar dan dicat merah, di pusat kota Makassar menyihir saya, ketika melewati di depannya dari bandara menuju ke hotel di sekitar pantai Losari. Hari itu, untuk pertama kali saya menginjakkan kaki di kota yang dulu bernama Ujung Pandang.

"Ada apa di balik bangunan berasitektur tua dan dikelilingi oleh pagar tembok tebal itu?" batin saya sambil memandangnya dari balik kaca taksi. Dalam batin, saya harus masuk ke bangunan lawas itu.

Masa lalu, masa sekarang dan masa depan. Itulah linimasa ketika mengunjungi objek wisata. "Ia ada karena ada. Keadaannya adalah lingkaran waktu yang bergerak dan berproses dari dulu hingga sekarang sampai masa depan. Berkelanjutan."

[caption caption="Pintu Masuk ke Banteng (Dokpri)"]

[/caption]Di hari ketiga, Sabtu (26/3/2016) sesudah dari Bantimurung, saya singgah ke benteng Ujung Pandang, yang kemudian oleh Jenderal Cornelis Speelman diganti namanya menjadi "Fort Rotterdam". Alasannya sih, untuk mengenang tempat kelahirannya di Belanda.

Mengubah nama benteng ini membuat dahi saya berkenyit. Segampang itukah alasan Cornelis mengubah nama benteng Ujung Pandang? Jika kompleks benteng itu dilihat dari atas bentuknya mirip "kura-kura" sedang menghadap ke laut? Atau tersembunyi alasan lain yang sifatnya politis dan ingin memperlihatkan "taring" kekuasaan di pusat perdagangan Indonesia Timur? Ah, semakin penasaran saja.

[caption caption="Turis Belanda (Dokpri)"]

[/caption]Setelah melewati pintu gerbang yang atasnya melengkung kokoh, saya dipersilahkan mengisi buku tamu. Antri sejenak. Tetiba giliran saya, saya sempat membaca buku tamu. Tercatat, para pengunjung berasal dari luar Makassar. Satu rombongan turis asing dari Belanda, dari Jakarta dan Kediri. Oh ya dari Tomohon, lupa disebut he he he.

Setelah mengisi donasi, seiring dengan mencatatkan nama dan asal di buku tamu, lalu saya menyusuri benteng mulai dari sebelah kiri. Berdiri di atas tembok setinggi 5 meter, mata saya menyapu keadaan sekeliling. Rupanya tembok yang saya pijak, ternyata berupa gundukan tanah yang tampak seperti ditalud dengan bebatuan karst. "Betapa kokohnya bangunan ini, pantaslah kalau benteng ini susah digempur" pikir saya.

[caption caption="Dari tembok, melihat bangunan dalam benteng (Dokpri)"]

[/caption]Masih di atas tembok itu, saya melihat sejumlah bangunan lawas berdiri kokoh. Secara tata letak, terbagi menjadi dua bagian. Bangunan yang menempel langsung pada tembok benteng dan bangunan yang ada di tengah dan berdiri lepas dari tembok. Ukuran tinggi bangunan rumah lebih dari 6 meter dan berlantai dua. Arsitektur rumah-rumah di benteng itu mengingatkan saya pada bangunan kota lama di Semarang dan Jakarta.

Siang itu, matahari begitu terik. Tak betah lama saya berdiri di atas tembok. Semilir udara panas pesisir pantai menyengat di badan. Kembali langkah kaki berjalan susuri jalan tembok ke arah Utara.

Di atas anjungan, tampak sepasang muda-mudi asyik bercengkerama. Tak jauh dari situ, dua kelompok kaum muda berseragam pramuka sedang berdiskusi di muka pintu tangga ke lantai bawah.

[caption caption="Markas, Galeri milik DKM (Dokpri)"]

[/caption]Ada sebuah ruang senyap di sebelah pintu yang tadi saya lalui. Saya masuk dan bertemu dengan lelaki berambut gondrong. Dipersilakan duduk dan kami pun ngobrol di ruang tamu galerinya.
Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline