Ketika Presiden Prabowo Subianto resmi meluncurkan program Makan Bergizi Gratis (MBG) pada Januari 2025, banyak orang menyambutnya dengan penuh optimisme. Bagaimana tidak, ide memberi makan gratis dan bergizi kepada jutaan anak sekolah, ibu hamil, serta ibu menyusui terdengar seperti langkah bersejarah.
Selama ini, isu stunting, kurang gizi, dan kualitas sumber daya manusia memang jadi salah satu pekerjaan rumah terbesar Indonesia. Maka ketika negara hadir dengan kebijakan sebesar ini, publik seolah punya alasan baru untuk percaya bahwa masa depan generasi berikutnya bisa lebih sehat, kuat, dan cerdas.
Program ini juga dipromosikan sebagai investasi besar. Targetnya mencapai lebih dari 80 juta penerima manfaat dalam beberapa tahun mendatang, dengan anggaran yang diperkirakan mencapai miliaran dolar.
Dalam pidato-pidato resmi, Presiden menekankan bahwa Indonesia tidak boleh lagi membiarkan anak-anaknya kekurangan gizi. Makanan sehat, kata beliau, adalah hak dasar yang harus dipenuhi negara.
Di atas kertas, wacana ini memang sulit ditolak. Siapa yang tidak setuju dengan gagasan anak-anak Indonesia bisa bersekolah dengan perut kenyang dan tubuh lebih sehat?
Namun seperti pepatah lama, "jalan menuju niat baik sering kali dipenuhi lubang." Seiring berjalannya waktu, cerita di lapangan ternyata tidak semulus janji awal.
Program yang semula dielu-elukan kini justru menghadapi badai kritik. Dari laporan Reuters hingga Tempo, publik dikejutkan dengan berita tentang ribuan siswa yang jatuh sakit setelah mengonsumsi makanan MBG.
Harapan besar yang dititipkan pada program ini mendadak terasa rapuh, seolah berubah menjadi pertanyaan: apakah negara terlalu terburu-buru menjalankan proyek raksasa ini?
Masalah yang Mengemuka
Kasus keracunan massal menjadi titik balik dalam perbincangan publik. Pada September 2025, sejumlah media internasional seperti Associated Press melaporkan bahwa lebih dari lima ribu anak di berbagai daerah mengalami sakit setelah makan dari program MBG.
Angka ini bahkan disebut lebih tinggi oleh Jaringan Pemantau Pendidikan, yang mencatat sekitar 6.452 kasus di seluruh Indonesia.