Setiap pagi, ribuan anak berangkat ke sekolah dengan semangat belajar dan harapan akan hari yang menyenangkan. Orang tua melepas mereka dalam keadaan sehat, dengan keyakinan bahwa di sekolah mereka tidak hanya mendapat ilmu, tetapi juga perhatian yang lebih dari negara lewat program Makan Bergizi Gratis (MBG).
Namun, suasana penuh harapan itu sering berubah jadi kepanikan ketika berita keracunan massal datang menghantam. Anak-anak yang sebelumnya ceria mendadak muntah, pusing, bahkan harus berbaring di rumah sakit.
Kasus demi kasus keracunan massal terkait program MBG seolah menjadi alarm keras yang belum berhenti berbunyi. Data dari Kementerian Kesehatan menyebutkan, sejak program ini digulirkan, lebih dari 5.000 kasus keracunan makanan telah tercatat di berbagai daerah (Kompasaiana, 22/9/2025).
Angka ini tentu mengejutkan, mengingat program MBG sejatinya diluncurkan sebagai upaya mulia meningkatkan gizi anak sekolah, bukan malah menimbulkan risiko kesehatan baru.
Di tengah situasi seperti ini, sekolah seringkali berada di garis depan. Bukan hanya karena menjadi lokasi distribusi makanan, tetapi juga karena pihak sekolahlah yang pertama kali berhadapan dengan murid-murid ketika gejala keracunan muncul.
Pertanyaan besar pun muncul: sejauh mana sekolah sebenarnya mampu menjadi garda depan pengawasan program MBG?
Publik mulai menyoroti peran sekolah, apakah memang sudah tepat menjadikan mereka penanggung jawab utama? Guru yang tugasnya mengajar, kini juga dituntut untuk memastikan keamanan pangan. Sebuah beban ganda yang tidak ringan, apalagi ketika fasilitas dan pengetahuan teknis mereka soal keamanan makanan sering kali terbatas.
Sekolah di Tengah Badai MBG
Program MBG lahir dari niat baik. Pemerintah ingin memastikan anak-anak Indonesia tidak lagi belajar dalam keadaan lapar. Menurut Presiden Prabowo Subianto saat peluncuran MBG, program ini diharapkan menjadi investasi jangka panjang bagi kualitas SDM Indonesia di masa depan.
Namun, idealisme di atas kertas ternyata tak selalu berjalan mulus di lapangan. Realitas yang muncul adalah insiden demi insiden keracunan massal yang terjadi berulang. Di berbagai daerah, berita tentang anak-anak yang tiba-tiba sakit setelah menyantap makanan MBG terus bermunculan. Setiap kali kejadian, rumah sakit setempat kebanjiran pasien, sementara orang tua panik dan menuntut jawaban.
Sekolah menjadi pihak pertama yang menanggung beban situasi ini. Guru harus sigap memberikan pertolongan pertama, memastikan murid dibawa ke fasilitas kesehatan, bahkan menenangkan orang tua yang marah. Padahal, mereka sendiri tidak pernah mendapatkan pelatihan khusus tentang prosedur menghadapi keracunan massal.