Lihat ke Halaman Asli

Julianda BM

ASN pada Pemerintah Kota Subulussalam, Aceh

Menjalin Hubungan Baik dengan Tetangga

Diperbarui: 4 Januari 2024   18:04

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi. Foto: SHUTTERSTOCK/SVRSLYIMAGE via KOMPAS.com

Oleh: Julianda BM

Di balik tembok rumah kita, bukan terbentang jurang pemisah, melainkan benang-benang kehidupan yang saling terajut. Benang itu bukan benang sutra halus, tapi benang tetangga, benang yang kadang kusut, kadang lurus, tapi senantiasa mengikat kita pada jalinan harmoni bernama komunitas. 

Menjaga hubungan baik dengan tetangga bukan sekadar basa-basi basahi halaman atau tebar senyum saat berpapasan. Ini tentang sebuah seni, sebuah keterampilan merajut benang kehidupan, yang bila ditelantarkan, bisa membuat selimut kehangatan komunitas terurai.

Bayangkanlah sebuah orkestra. Biola melodi indah, cello harmoni dalam, tapi tanpa iringan drum yang tepat, alunan musik itu hanyalah sekumpulan bunyi tak beraturan. 

Tetangga adalah sang drummer, elemen penting yang menentukan irama kehidupan bersama. Tetangga yang baik, tetangga yang peduli, menjadi irama mantap yang mengiringi langkah kita, menjadi penjaga stabilitas bahkan di kala simponi kehidupan bernada minor.

Tapi mengapa kita perlu merajut benang ini? Bukankah cukup bertegur sapa, dan jika perlu, saling tolong menolong? Nyatanya, menjaga hubungan baik dengan tetangga lebih dari sekadar etika sosial. Ini tentang investasi. Investasi keamanan, kenyamanan, dan bahkan kebahagiaan.

Pikirkanlah saat listrik padam, lampu darurat kita remang-remang. Siapa yang pertama kali Anda ketuk pintunya? Tetangga. Saat banjir mendadak, siapa yang mungkin sigap mengulurkan perahu kecilnya? Kembali lagi, tetangga. 

Saat anak Anda tersesat, siapa yang wajahnya yang pertama dicari matamu di kerumunan? Tepat, tetangga. Mereka bukan sekadar penghuni rumah sebelah, tapi barisan terdepan penjaga keharmonisan dan keamanan, ujung tombak yang melindungi benteng kecil bernama rumah kita.

Tapi benang tetangga tak selalu lurus. Ada gesekan, ada kesalahpahaman, ada irama yang tak selaras. Inilah seni merajut yang sesungguhnya. Kemampuan menghadapi konflik dengan kepala dingin, komunikasi yang jernih, dan hati yang pemaaf. 

Saat tetangga berisik, bukan maki yang dilontarkan, tapi dialog yang dibuka. Saat tetangga bergosip, bukan api yang dinyalakan, tapi air pengertian yang disiramkan. Ingatlah, benang yang kusut bisa diluruskan, tapi benang yang putus sulit diikat kembali.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline