Lihat ke Halaman Asli

Melawan Lupa: Simulasi Musyawarah bersama Bapak Kiai Tanjung

Diperbarui: 15 Agustus 2017   07:20

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Judul "Melawan Lupa" merupakan latihan mandiri yang kubuat agar daya ingatku stabil. Melalui tulisan ini aku mencoba menguraikan pengalamanku hari ini, bagaimana proses simulasi musyawarah yang diajarkan Bapak Kiai Tanjung kepada kami, meski dengan sedikit sekali pemahaman yang kudapati. Maka, di awal alenia ini, kuperingatkan pembaca yang kurang paham, untuk segera bertanya langsung kepada beliau. Juga pembaca yang merasa kurang pas, silahkan memperbaikinya melalui kolom komentar...

Kuawali pagi!....

GEMA lagu Nusantara Bangkit meramaikan suasana pagi di dalam masjid Billah Pomosda. Angin sepoi mengempaskan kerah baju, menciptakan dingin menyelimuti hati ini. Aku baru saja duduk di kursi yang telah dipersiapkan panitia, di dalam masjid. Saat lantunan lagu-lagu nusantara mengiringi kami menunggu Bapak Kiai Hadir. Satu-dua audien hadir memenuhi kursi yang telah disiapkan.

Senin, 14 Agustus 2017, sekitar pukul 07.30 WIB, acara dimulai. Aku memasang pendengaranku hikmat saat beliau memberikan materi.

Pagi adalah sesi penjabaran simulasi musyawarah. Dalam penjabarannya, Bapak Kiai Tanjung memberikan sampling-sampling sederhana, terkait kebiasaan manusia yang suka meniru kebiasaan orang lain. Atau bisa dikatakan, kita ini kurang memiliki daya kritis menjalani setiap rutinitas yang diberikan institusi maupun organisasi yang kita tempati.

Lebih konkrit, beliau menjabarkan bagaimana proses pendidikan kita saat ini. Yang mana secara fakta, tujuan pengadaan pendidikan kita memang 100% tidak memenuhi target. Ah ya, begini. Lebih rincinya: Tujuan pendidikan adalah pembentukan adab akhlak. Itu saja. Namun fakta yang terjadi saat ini, bagaimana menurut anda?

Menurut ku, pendidikan saat ini hanya mencetak generasi siap bekerja. Maka dengan tujuan yang sudah melenceng, tentu efek kebijakan dan prosesnya akan mengejar sesuai yang telah ditetapkan. Aku kira kita semua sepakat, bahwa orang disekolahkan hanya bertujuan mencari pekerjaan, supaya hidup nyaman. Ini kemudian menjadikan sekolah di tingkat SMP, SMA, maupun perkuliahan dijadikan batu loncatan mencari pekerjaan.

Sekali lagi, ini pendapatku. Dan aku kira, kamu pun setuju.

MUSYAWARAH dalam hal ini untuk mencari solusi terkait permasalahan ini. Contoh kasus dalam dunia pendidikan, mengapa program kegiatan sekolah yang dibuat tidak berjalan continue? Di sinilah para pelaksana pendidikan melakukan penyelesaian dengan melakukan musyawarah. Namun musyawarah yang bagaimana? Inilah satu poin penting yang harusnya kamu ketahui.

Aku sering melihat pengamat pendidikan (sebagai contoh), memberikan opini kepada public tentang bagaimana seharusnya masyarakat melakukan. Publik banyak yang mengamininya menjadi pemikiran yang bernas, kualitas, dan tuntas. Tunggu dulu! Mari kita teliti.

Contoh : Pak menteri membuat program one day school akhir-akhir ini. Publik tahu gambaran umumnya. Ah, setelah itu banyak sekali pengamat yang mengkaji kebijakan ini, pro dan kontra. Siapa yang merinci sampai ke hal teknis? Bagaimana menjalankannya, siapa yang melaksanakan, apa tujuan yang dicapai, bagaimana pengelolaaan tenaga kerjanya, dan sebagainya, yang menyangkut hal-hal teknis.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline