Lihat ke Halaman Asli

Cerpen I Kisah Beda, Bintaro

Diperbarui: 12 Agustus 2017   06:58

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

https://pixabay.com

Kereta terus berjalan. Masinis duduk di ruang operasi. Seorang bocah tegak berdiri sambil sedikit meloncat-loncat, mengibarkan baju seragamnya yang diikatkan kencang ke ranting jati. Hari itu, Selasa 19 Oktober 1987.

SEORANG GADIS berdiri ditengah sesaknya aktifitas stasiun Serpong. Orang-orang berdesakan, menyingkirkan tubuh gadis itu yang masih berdiri di sana. Gadis itu masih tak bergeming saat operator memberi  instruksi, sebentar lagi  kereta datang. Sementara mendung menutupi wajahnya yang ayu, gadis itu tertunduk lesu.

Bunyi kereta berderit kencang, mengawali perjalanan KA 225 jurusan Rangkasbitung ke stasiun  Sudimara. Sekitar tiga ratusan orang  berjejal disana, memperlihatkan kesibukan penjual asongan, para penumpang  bercengkrama dengan  anggota keluarganya. Semuanya berkumpul menjadi satu, menunggu sampainya perjalanan, dan bersegera mengais mimpi-mimpi mereka, mencari nafkah.

Di salah satu kursi kereta , tampak gadis bermuka sendu itu, lagi. Duduk terdiam mengganjal kepalanya dengan kedua tangan,  setelah memasukkan selembaran kertas ke dalam saku jaket kulitnya. Ia masih tak hirau akan ramainya suasana. Bahkan, ia sungguh abai pada tawaran beraneka jajanan yang tersodor di depan mukanya bergantian.

"Urusan keluarga." Jawabnya singkat, saat perempuan gemuk yang duduk berdempetan dengannya bertanya.

Perempuan gemuk itu menjadi salah tingkah, kemudian akhirnya ikut mematung di sepanjang perjalanan kereta. Diam seribu bahasa.

Seorang penjual asongan  datang menawarkan dagangan, mengiba, kemudian pergi dengan perasaan hampa. Begitu seterusnya.

Taka da yang mengira, jika gadis berusia 20an itu naik kereta  meninggalkan rumah orang tuanya, lantaran tekanan yang terus melanda .

Sakit hati menahan perih, ketidak cocokan ide, juga beda pendapat memang selalu saja memisahkan manusia. Begitu tepatnya gambaran untuknya, lumrah jua jika kita dikatakan sebagai manusia yang penuh dosa. Maka, meski seribu keraguan menggelayut angan, tak tentu arah dan tujuan, -pagi itu, gadis yang belum tersebut namanya, pasrah pada kemana sampainya kereta menjatuhkannya. Ia hanya  berharap-harap ragu pada alamat yang tertera di dalam surat yang baru saja ia simpan.

Kereta terus berjalan membelah kota. Ini sudah ke sepuluh kali, jemari  gadis itu menyisir rambutnya, membuatnya tergerai  ke belakang. Angin kereta yang kencang,kadang jua lamban, mengibas-ngibas rambutnya yang panjang. Saat angin mengempas pelan, segelintir rambut mendarat anggun di pipi kananya.

Satu jam sudah berlalu, gadis itu mencoba melupakan masa lalu. Sekali lagi merogoh secarik kertas yang tertera nama Bayu. Maka, lamat-lamat ia mengurai lipatan kertas itu, kembali membacanya dalam hati:

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline