Aku masih ingat pengalaman pertamaku melamar kerja sebagai bidan di sebuah rumah sakit swasta di Jakarta. Rasanya seperti sebuah ritual penuh persiapan. Waktu itu, tepatnya tahun 2011, aku duduk berjam-jam menulis surat lamaran di kertas folio—iya, zaman dulu aku masih membuat lamaran dengan tulisan tangan. Setelah itu, aku menambahkan daftar riwayat hidup sederhana, menempelkan foto 3x4 di pojok kanan atas, lalu mengecek berulang kali apakah semua dokumen sudah lengkap: fotokopi SKL (karena saat itu aku baru lulus kuliah dan ijazah belum keluar), transkrip nilai, dan KTP.
Semuanya kumasukkan ke dalam map coklat, yang waktu itu seakan jadi “seragam wajib” pelamar kerja. Begitu selesai, aku bawa map itu ke rumah sakit dengan penuh harapan. Tapi bukannya bertemu HRD, map itu justru kutitipkan ke satpam di depan. Dari situ, aku hanya bisa berdoa semoga berkas itu tidak terselip, terbengkalai di meja resepsionis, atau bahkan berakhir di tumpukan map lain yang tak pernah dibuka.
Proses melamar kerja dulu penuh rasa deg-degan. Kita tak pernah tahu apakah lamaran dibaca atau tidak, apakah ada kabar balasan, atau sekadar ucapan “terima kasih sudah melamar”. Kadang berbulan-bulan tak ada kepastian.
Sekarang, zaman benar-benar berubah. LinkedIn hadir sebagai “CV digital” yang bisa diakses siapa saja, kapan saja. Bedanya dengan map coklat yang dulu kutitipkan ke satpam, LinkedIn bisa langsung menampilkan profil ke ratusan recruiter dalam hitungan detik.
LinkedIn sebagai CV Digital
LinkedIn ibarat etalase online: berisi pendidikan, pengalaman kerja, sertifikat, keterampilan, bahkan rekomendasi dari rekan kerja. Kalau dulu sekali submit CV artinya final, di LinkedIn kita bisa memperbarui profil kapan pun dibutuhkan.
Kelebihan Dibanding CV Tradisional
Update cepat: cukup klik, profil langsung berubah.
Mudah ditemukan: recruiter bisa menemukan kita lewat pencarian, bahkan tanpa kita melamar.
Ada interaksi: orang bisa memberi rekomendasi atau komentar di postingan.