Lihat ke Halaman Asli

Liliek Purwanto

TERVERIFIKASI

penulis

Tiada Kucing, Cupang pun Jadi

Diperbarui: 2 Maret 2020   15:28

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

ilustrasi: pixabay.com

Meskipun dibesarkan di dusun dengan sekian banyak binatang peliharaan di kanan kiri, saya tak begitu tertarik untuk memelihara binatang. Padahal di masa kecil, saya biasa menyaksikan kerbau-kerbau digiring pemiliknya menuju ke tempat kerja mereka. Juga barisan bebek yang hendak mencari sesuap gabah yang bertebaran di sawah. Nyaris saban hari aneka binatang ternak mengukur jalan kampung di depan rumah.

Setali tiga uang dengan istri. Ia pun tak memiliki cukup gairah untuk merawat binatang. Sebuah alasan yang masuk akal kerap dituturkannya perihal keengganannya berakrab-akrab dengan binatang. Ia tak hendak melihat residu yang keluar dari rongga perut hewan tertebar di lantai dan perabotan rumah.

Sungguh berbeda dengan minat anak-anak kami. Ternyata mereka tak mewarisi "bakat" orang tua dalam urusan dengan binatang piaraan. Bocah-bocah itu justru amat menginginkan hadirnya beberapa macam binatang menghiasi kediaman kami.

Oleh permintaan anak-anak, tercatat kami pernah hidup berdampingan dengan sekian jenis binatang piaraan dalam satu rumah. Mulai binatang air semacam ikan dan kura-kura hingga mamalia-mamalia kecil seperti hamster dan kelinci.

Kisah Sedih Binatang Piaraan

Sayangnya, nafsu besar memiliki binatang tak dibarengi dengan kemampuan merawat makhluk-makhluk yang acap menggemaskan itu. Tips-tips memelihara binatang yang kami dapatkan dari buku dan internet tak jua membantu. Tak ayal, sebagian besar di antara mereka mengalami nasib yang mengenaskan.

Tiba-tiba kami mendapati kura-kura mati tanpa didahului munculnya gejala-gejala kesakitan. Sama halnya yang terjadi pada kelinci. Padahal makanan dan minuman serta kebutuhan hidup lainnya telah kami cukupi.

Lain lagi kisah pilu yang dialami ikan-ikan hias yang mendiami sebuah akuarium kaca yang sederhana. Setelah sekian lama menjadi pemandangan salah satu sudut ruang keluarga, binatang air dengan warna-warni yang memikat hati itu harus menemui ajal mereka lebih cepat dibandingkan perkiraan kami.

Cara para ikan meninggalkan dunia yang fana sangat tidak kami nyana. Anak perempuan kami yang saat itu masih berusia balita menaburkan "minuman" bagi ikan-ikan kesayangan. Ikan-ikan cantik itu sepertinya gembira mendapatkan kasih sayang dari sang putri kecil. Demikian pula, saya yakin putri kami melimpahkan kasih sayangnya kepada para ikan dengan rasa bangga.

Beberapa waktu kemudian, semua ikan yang menghuni akuarium tewas mengambang. Saya baru mengetahui kronologi peristiwa mengenaskan itu setelah saudara laki-laki si gadis kecil yang berusia sedikit lebih tua mengunjukkan sebuah botol yang tak lagi berisi. Ia menuturkan bahwa adik perempuannya telah menuang seluruh cairan yang semula berada dalam botol itu ke dalam akuarium tempat ikan-ikan berenang-renang dengan riang.

Setelah saya amati, botol kosong yang ditunjukkan anak lelaki kami adalah sebuah wadah parfum. Waduh, Dik! Itu bukan minuman untuk ikan. Lagipula, ikan-ikan itu juga tak membutuhkan wewangian meskipun mereka perlu memikat lawan jenis untuk mengembangkan populasi spesies mereka.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline