Lihat ke Halaman Asli

Liliek Purwanto

TERVERIFIKASI

penulis

Pahit dan Manisnya Bahasa Jawa

Diperbarui: 24 Oktober 2018   21:01

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

(Foto: Mohammad Ayudha/Antara)

Sempat terlintas dalam benak saya bahwa bahasa ibu saya, yakni bahasa Jawa, cukup menyulitkan kehidupan saya. Bagaimana tidak? Bahasa Jawa itu rumit sekali. 

Bahasa ini mengenal tiga tingkatan bahasa yang umum, yakni basa ngoko, basa madya dan basa krama. Ada juga yang menambahkan basa kedaton. Selain tingkatan-tingkatan itu, masih terdapat beberapa sub tingkatan atau variasi pada masing-masing jenjang. Secara keseluruhan mencapai belasan variasi.

Penggunaan masing-masing tingkatan dan variasi ada aturannya dan hampir setiap kata memiliki padanan dalam setiap level bahasa. Membayangkan jumlah kosa kata dan memikirkan tingkatan bahasa yang akan digunakan saja sudah membikin jidat mumet alias pusing.

Tingkatan dalam bahasa Jawa acap kali menimbulkan kebingungan. Bicara sama orang tua sangat berbeda dengan bercakap dengan teman sebaya. Apalagi berucap kepada seorang raja. Ada unggah-ungguh-nya.

Sebagai manusia keturunan Jawa tulen, tentu kehidupan saya tak bisa lepas dari interaksi dengan bahasa yang pengguna utamanya berada di daerah Jawa bagian tengah dan timur ini. Cukup banyak pengalaman dalam bertutur dalam bahasa Jawa mengikuti perjalanan hidup saya. Beberapa pengalaman berbahasa Jawa agak kurang mengenakkan.

Salah satu pengalaman kurang nyaman disebabkan bahasa Jawa terkesan menimbulkan jarak di antara para penuturnya. Sesuai pakemnya, seorang anak yang berbicara kepada orang tua dan orang yang dituakan harus menggunakan tingkatan basa krama. Semasa saya masih sebagai bocah yang tinggal di sebuah dusun di pelosok Jawa Tengah, "aturan" ini tak menimbulkan masalah. 

radisi masyarakat di kala itu memang kentara sekali bertingkat-tingkat. Lha wong sekarang ini zaman milenial. Mengharapkan anak-anak era gawai bertutur kata "inggah-inggih" semacam itu ibarat menegakkan benang basah. Saya pun sudah sering canggung bila harus mengucap kalimat krama inggil.

Masih terkait dengan tema ini, seringkali saya bimbang harus menggunakan strata bahasa yang mana saat menghadapi orang baru yang masih setara dalam usia. Sebuah judul film jadul Warkop DKI "Maju Kena Mundur Kena" bisa menggambarkan dilema yang sering saya hadapi. 

Jika saya berbicara menggunakan level bahasa Jawa kasar alias ngoko, saya ragu apakah orang baru bisa menerimanya dengan lapang dada. Sebaliknya, bila saya berbahasa krama, sudah pasti jurang pemisah langsung terbentang di antara kami. Baru mau mulai bicara saja sudah bingung.

Pengalaman lain menunjukkan bahwa bahasa Jawa pernah menimbulkan stress. Anak-anak saya sempat merasakan tekanan berat menyangkut penggunaan bahasa Jawa. Anak-anak lahir dari rahim seorang ibu yang "berkebangsaan" Sumatera. 

Mereka pun hadir pertama kali ke dunia fana ini dan tumbuh besar di luar pulau Jawa. Maka, bahasa sehari-hari yang mereka dengar dan mereka ucapkan sejak lahir hingga usia sekira delapan hingga sepuluh tahun adalah bahasa Indonesia yang bercampur dengan bahasa dan logat daerah setempat.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline