Lihat ke Halaman Asli

Lia Wahab

Perempuan hobi menulis dan mengulik resep masakan

Perjalanan Tujuh Pemimpin Negeri, Hari Ini Patut Kita Syukuri

Diperbarui: 12 Februari 2019   00:32

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber foto: Zonareferensi.com

Memimpikan negeri dengan peradaban yang tinggi, kesejahteraan yang mumpuni dan kedamaian yang hakiki tak bisa dilepaskan dari bagaimana pemimpin membawa rakyatnya. Pemimpin bisa menyatukan visi misi yang terserak di antara rakyatnya menjadi visi misi bersama dengan meminimalisir resiko jangka panjang. Teori homo homini lupus, bellum omnium contra omnes yang dikatakan Thomas Hobbes menunjukkan bahwa tanpa pemimpin, komunitas hanya akan jadi kumpulan manusia yang tak jelas arah dan tujuan hidupnya.

Indonesia secara peradaban merupakan bangsa yang tua, meskipun rakyatnya saat ini adalah campuran dari berbagai ras asli dan pendatang. Kata pribumi tak lagi jadi jaminan komitmen setia terhadap negeri kepulauan ini. Saat ini, semua rakyat memiliki hak yang sama untuk diperlakukan secara adil.

Berbagai macam karakter pemimpin ada di dunia. Mereka memajukan bangsanya dengan cara sendiri. Kita mengenal Napoleon Bonaparte, Adolf Hitler, Mussolini, J.F Kennedy, Ghandi, Nelson Mandela, Soekarno sebagai sekian di antara pemimpin negara-negara di dunia. Mereka mencatat sejarahnya masing-masing yang berdampak pada kondisi bangsanya hari ini.

Kalau kita mau memetakan masalah, kebutuhan dan solusi bagi negeri ini kita harus paham sejarah, mengambil maknanya dan pesan untuk kemudian hari. Saya jadi terlintas kilas bangsa kita sejak presiden kita yang pertama hingga saat ini, apa sih benang merahnya.

Era Soekarno

Soekarno adalah satu di antara nama perintis usaha kemerdekaan Indonesia di antara beberapa nama aktifis muda saat itu seperti Mohammad Hatta, Iskak Tjokrodisuryo dan Cipto Mangunkusumo. Peristiwa penyanderaan Soekarno dan Hatta bukan tanpa sebab. Di antara sekian aktifis pemuda di masa itu, mereka berdualah yang dinilai berani berbicara dan punya ilmu yang mumpuni. Tujuh puluh tiga tahun Indonesia merdeka, fase demi fase dilalui negeri ini. Soekarno memimpin meninggalkan semangat marhaenisme yang berkerakyatan yang menjunjung tinggi masyarakat akar rumput. Jiwa nasionalis Soekarno juga bersanding dengan sisi agamis sang proklamator. Di sisi lain memang kekurangannya adalah saat Soekarno masuk dalam benang kusut peristiwa G 30 SPKI yang hingga kini misterius motif dan otak sebenarnya di balik itu. Yang jelas, memang ada kelengahan seorang Bung Karno hingga peristiwa G 30 SPKI itu lolos. Ia tertipu rasa percayanya pada PKI yang dianggapnya pembelanya paling setia. Soekarno pun terpaksa meninggalkan kursi pemimpin RI dalam kondisi yang amat getir. Ia diblacklist. Ia menjadi tahanan politik yang diperlakukan tak selayaknya hingga Sidang Istimewa MPRS menurunkan tokoh kesayangan rakyat itu dari kursi presiden dengan tuduhan mendukung aksi pemberontakan PKI yang sampai kini tak berbukti.

Era Soeharto

Bermodalkan nasib naas sang Proklamator yang diturunkan dari kursi presiden, Soeharto pun melenggang menggantikan Bung Karno. Tiga puluh dua tahun negeri ini dipimpin Soeharto memang banyak pembangunan yang dilakukan oleh pemimpin yang sempat diamanahkan supersemar oleh Bung Karno itu. Tetapi, pembangunan memang dulu lebih terasa melulu di pulau Jawa..ya, hanya pulau Jawa dan sekitarnya. Pulau Jawa adalah pusat aktifitas masyarakat Indonesia, daerah terpadat penduduk dimana pemerintahan berpusat di salah satu propinsinya. Jika hidup di zaman itu, terlihat di TVRI, satu-satunya televisi saat itu, milik pemerintah, yang sering menyorot pembangunan dan kemajuan Indonesia hanya seputar bundaran HI di Jakarta atau budaya bangsa dari tari-tarian Bali. Ya, Indonesia dikenal bangsa luar lebih banyak soal Jakarta dan Bali.

Mirisnya, pembangunan negeri di zaman Soeharto juga sejalan dengan pembangunan dinasti keluarga Cendana. Istri, anak dan cucu Soeharto hingga kerabat dekat lainnya memiliki fasilitas lebih daripada rakyat biasa. BUMN dikuasai anak-anak Soeharto seperti CMNP yang sahamnya dikuasai Tutut. Perusahaan ini memegang proyek pembangungan infrastruktur, membangun dan mengelola jalan tol dan lainnya. Dua perusahaan mobil nasional Timor dan Bimantara dipegang oleh Tommy Soeharto dan Bambang Triatmojo, dua putra Soeharto. Taman Mini Indonesia Indah dimiliki sahamnya dan dikelola oleh ibu Tien Soeharto. Seorang Tutut Soeharto memegang saham Televisi Pendidikan Indonesia. Di akhir 2017 pasca pemilu dan Soeharto dipilih oleh Sidang MPR lagi, krisis moneter terjadi di Indonesia, dollar amerika mulai naik signifikan, inflasi besar-besaran terjadi, hutang luar negeri Indonesia naik ke angka yang memprihatinkan dibanding GDP saat itu. Rupanya kekuasaan Soeharto semakin kalap dan menyerap semua sumber kekayaan negeri ini. Di beberapa sisi negeri pembangunan terjadi besar-besaran tetapi di banyak wilayah terjadi kelaparan, kemiskinan parah, akses jalan yang putus, listrik yang tidak tersambung, masyarakat seolah terisolasi dan mereka tidak punya akses berteriak ke pusat atau membuka fakta di daerahnya.

Seiring masyarakat yang semakin kritis, lahirlah tokoh-tokoh aktifis yang berani melawan pemerintahan Soeharto saat itu. Memang sebelumnya sudah banyak tokoh yang mencoba vokal mengkritisi pemerintah orde baru lewat orasi, cipta lagu, lukisan dan lainnya tetapi rata-rata mereka berakhir di sel penjara atau hilang tak tentu rimbanya. Widji Thukul yang bernama asli Widji Widodo, seorang seniman asli Solo yang sejak awal tahun 1990-an aktif melakukan protes terhadap pihak-pihak yang dianggapnya melanggar hak publik. Thukul menulis banyak puisi yang bernada kritikan terhadap pemerintah. Tiga puisinya menjadi populer yaitu "Peringatan","Sajak Suara" serta "Bunga dan Tembok" diterbitkan oleh penerbit fiktif Manus Amici di tahun 1994 untuk menghindar dari pelarangan oleh pemerintah Orde Baru. Thukul juga aktif menyelenggarakan kegiatan theater dan melukis dengan anak-anak di tempat tinggalnya, kampung Kalangan. Di tahun 1994 Thukul yang memimpin massa aksi petani dan melakukan orasi ditangkap dan dipukuli militer.

Thukul aktif dalam aksi-aksi demonstrasi dan terakhir terlihat di bulan April 1998. Pada bulan Mei 1998 tim Kopassus Mawar membuat daftar nama pencarian aktifis. Thukul yang diperkirakan ada di lokasi peristiwa 27 Juli 1998 pun hilang bersama belasan aktifis lainnya. Dua tahun dalam pencarian, di tahun 2000 istri Thukul melaporkan kehilangan suaminya ke Komisi Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KONTRAS).

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline