Lihat ke Halaman Asli

Cerpen | Pupuk Racun

Diperbarui: 26 Desember 2016   17:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

2056, masa dimana sudah tidak ada lagi kaidah bahasa..

Aku tersenyum sendiri saat mendengar pidato seorang manusia yang disebut presiden oleh rakyatnya, ironis atau lucu? Orang nomor satu di Negara Republik Indonesia yang sangat dihargai karena kinerjanya yang gagal meningkatkan perekonomian dan kemakmuran rakyat kini ada di depan mata sedang berbicara dengan lantang di belakang mimbar kebanggaannya. “Nek, apa acaranya masih lama?.” Tiba-tiba suara Prosa membuyarkan lamunanku. “Sabar Cu, kapan lagi kita bisa bertemu presiden sedekat ini? Mungkin pidatonya hanya satu jam setelah itu kita pulang.” Aku berusaha menenangkan cucuku yang sama sekali tidak tertarik dengan acara seformal ini. Maklumlah anak kecil belum mengerti betapa pentingnya bertemu dengan presiden baru yang muda, masih kepala dua. Aku sendiri datang ke acara ini bukan untuk menghormatinya, melainkan untuk mendengarkan pidatonya yang sangat...”Nek, gue bosen!.” Prosa membentak. “Prosa cucu nenek yang baik, nenek mau bercerita pengalaman nenek dulu waktu masih muda, zaman dimana pidato tuh ribet banget dan banyak aturan. Gak kayak Pak Presiden yang sekarang sedang berbicara di depan itu.” Premis terlihat bingung, “Memang ada yang salah sama Om Presiden itu.?” Dia terlihat heran. “Begini ceritanya…”

2016, Zaman ketika etika berbahasa mulai tidak karuan…

O! Itu tak kau lihat tak kau ragu

Peluh dan peluru hujam memburu

Bahasamu bahas bahasanya

Lihat kau bicara dengan siapa

Lidah kian berlari tanpa henti

Tanpa disadari tak ada arti

Bahasamu bahas bahasanya

Lihat kau bicara dengan siapa

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline