Lihat ke Halaman Asli

Leyla Imtichanah

Penulis, Blogger, Ibu Rumah Tangga

Optimisme di Balik Semangat Ramadan dan Waisak

Diperbarui: 7 Mei 2020   23:22

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Optimis. Foto: Pixabay

Hari ini tanggal merah tapi rasanya seperti hari-hari biasa. Sejak Work from Home, setiap hari adalah tanggal merah. Omong-omong, tanggal merahnya karena apa? Ternyata Hari Raya Waisak, hari raya umat Buddha. Artinya, tanggal 7 Mei ini, sangat berkesan untuk umat Islam dan umat Buddha karena umat Islam sedang beribadah puasa Ramadan dan umat Buddha merayakan hari Waisak. Lebih berkesan lagi karena seluruh umat di dunia sedang diuji dengan virus corona yang sempat membuat kita berpikir bahwa kiamat sudah dekat. 

Saya sendiri sejujurnya pada awal kedatangan virus corona di Indonesia, sempat berpikir bahwa ajal kami sudah dekat. Rasanya-rasanya setiap hari ada orang yang meninggal. Bukan hanya satu, tapi ribuan orang di dunia meregang nyawa karena virus corona. Saya sempat takut keluar rumah dan berinteraksi dengan orang lain karena khawatir tertular. Kematian itu hal yang harus dihadapi oleh setiap orang, hanya saja kalau ditanya apakah sudah siap mati? Tentu saya jawab, belum, karena saya masih punya tanggungjawab membesarkan anak-anak. Dan kalau ditanya apakah siap ditinggalkan oleh suami dan anak-anak? Saya juga jawab, belum. 

Akibatnya, hidup saya sempat berada di titik stagnan karena merasa percuma melakukan rencana untuk masa depan di bawah ancaman virus corona. Saya pikir, sudahlah kita pasrah saja kalau kiamat memang sudah dekat. Sudah tak perlu bermimpi atau berangan-angan, siapkan diri saja untuk menyambut kematian.  Kok rasanya jadi pesimis sekali ya? Belum lagi kalau memikirkan kondisi perekonomian yang mulai tidak pasti. Suami mengatakan bahwa perusahaannya akan mengalami masalah keuangan di bulan Juni jika virus corona masih belum musnah. Duh, rasanya seperti tidak ada masa depan yang baik di depan sana.

Namun, memasuki bulan Ramadan, semangat optimisme di dalam dada saya mulai membuncah. Saya tidak lagi memiliki ketakutan yang berlebihan terhadap virus corona. Di bulan Ramadan ini, saya menjadi lebih banyak beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah. Saya berpuasa, salat tarawih, salat tahajud, dan membaca Al Quran dengan rutin. Ternyata itu membawa ketenangan di dalam diri saya. Semarak Ramadan juga masih terasa meskipun kita masih dalam Pembatasan Sosial Berskala Besar. Saya hanya keluar rumah dua sampai tiga minggu sekali untuk membeli bahan pangan, tapi tetap merasakan kemeriahan Ramadan. Itu membuat saya merasa hidup kembali. 

Sepertinya hal yang sama juga dirasakan oleh umat Buddha yang hari ini merayakan Waisak. Saya tidak begitu memahami kepercayaan mereka, tetapi saya yakin setiap umat beragama di dunia ini mendoakan kebaikan untuk bumi dan isinya. Kita semua berharap virus corona segera musnah dan manusia kembali menjalankan hidup dalam kegembiraan. Kalaupun ada yang harus ditakuti, Dia adalah pencipta bumi dan alam seisinya. Bukan virus corona. Di bulan Ramadan ini, gerak ibadah kita memang terbatas. Tidak bisa salat tarawih berjamaah di masjid, tidak bisa bersilaturahmi dalam balutan acara berbuka puasa bersama, bahkan tidak bisa berkerumun di pagi buta untuk meembangunkan sahur para warga. 

Namun, ibadah tetap bisa dilakukan secara khusyuk di dalam rumah, kualitas hubungan keluarga juga meningkat karena orangtua punya lebih banyak waktu untuk berkumpul bersama anak-anak pada jam buka puasa, serta bisa salat tarawih berjamaah di rumah. Itu memberikan rasa optimisme bahwa semua akan baik-baik saja dengan perlindungan pemilik alam dan seisinya. Selama kita memberikan penyerahan diri dan pasrah menerima qada dan qadar-Nya.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline