Lihat ke Halaman Asli

Leoni Marisa Largus

Pecinta martabak manis dan menulis

Salahkah Berpikir Negatif?

Diperbarui: 3 September 2021   15:40

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

sindonews.net

Halo apakabar? Bagaimana hari-hari mu selama perjuangan kita bertahan hidup dalam covid-19 ini? Mudah-mudahan tetap kuat ya.

Memang begitu banyak perubahan yang kita alami selama satu tahun terakhir ini yang mungkin cukup mengaduk-aduk emosi kita. Perasaan atau emosi  yang timbul ini bisa kita rasakan karena berhubungan dengan persepsi dan pikiran dari kejadian atau situasi yang kita alami. 

Emosi bisa menjadi salah satu esensi dari tindakan yang kita lakukan selama ini. Hal ini terjadi karena adanya pengaruh dari daya pikir dan psikomotorik di otak kita yang mengatur emosi itu sendiri. Tepatnya di dalam sistem limbik di otak kita yang juga mengatur memori jangka panjang dan tergabung dalam saraf-saraf berbentuk almond yang disebut Amygdala.

Amygdala sendiri lebih cenderung pada pikiran dan pengalaman yang biasa di anggap negatif seperti takut, curiga, cemas, kecewa, benci, dan sedih yang juga mempengaruhi pikiran jangka panjang. Sayangnya kita manusia cenderung lebih mudah untuk mengaktifkan pikiran negatif ini. Terbukti dari penelitian yang dilakukan oleh Alison Ledgerwood, seorang psikolog yang pernah melakukan Eksperimen mengenai fenomena pikiran negatif ini.

Alison membagi dan memisahkan dua kelompok, sebut saja A dan B. Kedua kelompok ini di beritahu secara terpisah bahwa akan di lakukan tindakan pembedahan kepada mereka dengan kemungkinan pada kelompok A di beritahu tingkat keberhasilan operasi sebesar 70% dan untuk kemlok B kemungkinan kegagalan 30%. Kelompok A memberi respon positif dan B memberi respon negatif.

Setelah itu eksperimen dilanjutkan dengan masing-masing kelompok diberi informasi tambahan yakni kepada kelompok A  ada kemungkinan kegagalan operasi 30% dan hasilnya mereka berubah respon menjadi negatif. Sedangkan kelompok B di beritahu kemungkinan tingkat keberhasilan operasi 70% dan mereka tidak mengubah respon mereka tetap saja negatif. Hasil Eksperimen ini memberi gambaran yang sangat penting tentang bagaimana otak kita manusia lebih mudah berpikir negatif.

Dulu saya sempat berpikir "seandainya saya tidak memiliki Amygdala saja biar hidup saya lebih tenang dan positif, wah". Sampai akhirnya saya membaca buku "Mendaki Tangga yang Salah" karya Eric Barker. Di buku itu ada bagian yang menceritakan tentang seorang perempuan yang memiliki gangguan pada saraf Amygdalanya yang membuat dia tumbuh sebagai wanita yang ceria dan positif. 

Awal baca cerita itu kata ku "wah luar biasa meyenangkan pasti hidupnya". Tetapi sayangnya di akhir cerita ternyata tidak semenyenangkan itu. Dia sering mengalami pelecehan, cidera, keracunan dan banyak hal yang menyedihkan secara berulang. Kerusakan Amygdalanya menyebabkan ia kehilangan rasa takut, curiga, cemas bahkan memori tentang hal buruk yang pernah dia alami tidak terekam di pikirannya, sehingga hal itu terjadi kembali.

Dari kisah hidup perempuan itu saya jadi bisa melihat bahwa ternyata perasaan atau emosi yang dianggap negatif dan sering saya keluhkan itu sebenarnya tidak begitu buruk tapi seharusnya di syukuri. 

Perasaan-perasaan itu jika di olah dengan baik justru bisa membuat kita lebih siap dan hati-hati dalam menghadapi sesuatu, karena ternyata perasaan negatif itu merupakan alarm alami untuk menghindari bahaya dalam perjalanan evolusi kita manusia. Namun seperti sebuah kalimat yang sering kita dengar bahwa "sesuatu yang berlebihan tentu juga tidak baik" itu juga berlaku dalam emosi apalagi untuk emosi yang sering dilabeli negatif ini.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline