Lihat ke Halaman Asli

Latifah Maurinta

TERVERIFIKASI

Penulis Novel

Ketika Kapel dan Tasbih Bicara

Diperbarui: 21 Agustus 2018   06:02

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Rinai hujan membasahi halaman gedung Global Classica Kindergarten. Rossie menatap masygul pemandangan suram itu dari jendela ruang kerjanya. Dalam hati ia bersyukur karena hujan turun saat jam sekolah sudah usai. Kasihan bila murid-muridnya harus melintasi halaman dengan tubuh basah.

Kesehatan dan kebahagiaan murid-muridnya, itulah yang selalu Rossie pikirkan. Mereka sangat berharga baginya. Rossie mencintai mereka seperti ia mencintai diri sendiri, keluarga, sahabat-sahabatnya, dan...Revan.

"Revan..." Bibir mungil itu menyebut sepotong nama tanpa sadar.

Owner Global Classica Kindergarten itu mendesah. Dihelanya napas berat. Ingatan aakan pertengkarannya dengan Revan berputar-putar tanpa henti.

Semalam dia bertengkar dengan pria blonde itu. Sikap sang ayah, itulah akar masalahnya. Revan mengaku tak tahan lagi menghadapi sikap ayah Rossie. Namun Rossie tak terima. Ia malah menuduh Revan lemah, tanpa punya keberanian untuk menghadapi ayahnya. Bahkan Rossie berprasangka kalau Revan enggan memperjuangkan cinta mereka.

Kini ia menyesal. Sungguh-sungguh menyesal. Bukan begitu caranya menghadapi Revan. Maksud hati ingin meminta maaf, tetapi sejak pagi tadi Revan tak bisa dihubungi.

"Revan, maafkan aku..." desah Rossie. Bertopang dagu, menatap sendu halaman sekolah bermandikan hujan.

Tenggelam dalam pikirannya, tanpa sengaja Rossie mendengar isakan tertahan. Suara apa itu? Refleks ia membalikkan tubuh, menajamkan pendengaran. Suara isak tangis terdengar dari koridor, jelas di luar kantornya.

Tengkuknya merinding. Mungkinkah...? Andai saja Revan ada di sini, dia akan bisa melihat posisi makhluk-makhluk halus. Tidak, itu pasti bukan makhluk tak kasat mata. Isakannya lebih mirip suara anak kecil.

Mengumpul-ngumpulkan keberanian, Rossie berjalan pelan keluar ruangan. Kakinya serasa seberat barbel. Dua langkah menginjak lantai koridor, Rossie terkejut melihat sesosok tubuh kecil meringkuk dengan tubuh gemetar. Ia familiar dengan tubuh kecil dalam balutan blazer berlogo Global Classica itu.

"Angel?" panggilnya, berlutut di depan anak perempuan kecil yang tengah menangis.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline