Lihat ke Halaman Asli

Latifah Maurinta

TERVERIFIKASI

Penulis Novel

Diary Calisa

Diperbarui: 13 Agustus 2017   18:57

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Buku berwarna soft pink dan bergambar hati itu dibukanya lagi. Ia bersiap menuliskan semuanya. Kembali mencurahkan isi hatinya di sana. Tangan Nyonya Calisa bergetar hebat saat membuka-buka halaman buku. Tak mudah mencurahkan semuanya dalam kata-kata. Terlalu sakit, terlalu pedih untuk dituliskan kembali. Namun ia harus melakukannya. Dari pada harus memendamnya. Memendam perasaan justru menimbulkan bibit penyakit di dalam tubuh dan jiwa.

Wanita blasteran Sunda-Belanda itu membaca ulang isi diarynya. Dua setengah tahun berlalu sejak semuanya bermula. Sejak Syarif diam-diam memata-matai Clara, Tuan Calvin kembali terserang Hepatocellular Carcinoma, dan Nyonya Lola kembali ke Indonesia. Dua setengah tahun pula Nyonya Calisa tak menyentuh diarynya lagi.

Ia selalu menangis dan membenci dirinya sendiri tiap kali menyentuh diary itu. Apa yang salah? Entahlah, ia hanya terlalu membenci diri dan kenangan-kenangannya di masa lalu.

**    

Friday, 22 July

"Bangun, Sayang. Sudah Subuh. Ayo shalat. Tidurnya pulas sekali ya? Gara-gara kamu kelelahan setelah banyak kegiatan ya?"

Pagi ini, kudengar sapaan halus Mama diikuti belaian hangatnya. Mama membangunkanku dengan cara yang sangat halus. Begitulah yang sering terjadi.

Jika kita ingin membujuk, mempengaruhi, atau meminta seseorang melakukan sesuatu, lakukan dengan lembut. Aku pun begitu. Berusaha memperlakukan siapa saja dengan kelembutan dan kehalusan sikap. Bahkan pada orang yang tidak kusukai sekali pun.

Sayangnya, kelembutanku kerap kali disalahgunakan. Beberapa teman memanfaatkanku. Menyalahgunakan kepercayaanku, lalu meninggalkanku. Mereka panggil aku "Princess" dan "Peri Kecil". Mungkin mereka menganggapku manusia setengah malaikat. Yang terlalu lembut dan sabar, yang tak pernah marah. Jangan salah. Aku pun pernah marah. Pernah dan bahkan sering tidak sependapat dengan mereka. Namun aku lebih memilih diam. Menurutku, diam jauh lebih baik.

You know, diary?

**      

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline