Lihat ke Halaman Asli

Lanjar Wahyudi

TERVERIFIKASI

Pemerhati SDM

Terjebak Dahaga Kepemilikan yang Tak Pernah Terpuaskan

Diperbarui: 20 Februari 2021   10:09

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi pria stylist dengan mobil keren (sumber: feepik.com)

Pada sebagaian orang, kepemilikan menjadi tujuan hidup yang utama. Kepemilikan atas berbagai hal bendawi yang sudah tidak menjadi kebutuhan pokok, karena sekedar memenuhi kepuasan. 

Ghalibnya kemudian keinginan demi keinginan akan terus datang dan minta dipenuhi, seumpama seorang yang sudah minum seteguk air putih untuk menghilangkan kehausannya, namun masih menginginkan segelas teh manis, secangkir kopi, sekaleng bir, segelas anggur, terus menerus tidak bisa berhenti.

Keinginan untuk memiliki berbagai macam barang seringkali memperbudak diri sehingga mengorbankan hal-hal abadi dalam kehidupannya. Kenangan adalah abadi, ia bisa memberi arti dalam sebuah hubungan, maka memberikan waktu bagi kekasih hati, belahan jiwa, dan orang-orang terdekat menjadi sangat berarti. 

Ibadah adalah abadi, maka memberi waktu dan berperilaku seperti yang disembah akan berdampak abadi; berbagi kebaikan seperti Dia Yang Maha Baik, jujur dan disiplin seperti pribadi-Nya Yang Maha Tahu, tulus hati seperti Dia Yang Maha Kasih, bekerja keras seperti Dia Yang Maha Kuasa, berintegritas seperti Dia Yang Maha  Esa.

Orang yang memiliki dorongan begitu kuat untuk selalu menginginkan lebih banyak, biasanya memiliki konsepsi yang keliru tentang makna kepemilikan. Baginya, "Memiliki lebih banyak akan membuat merasa lebih bahagia, lebih penting, lebih dihargai, dan lebih aman". 

Tetapi keempat hal tersebut tidaklah benar, sebab kepemilikan atas barang-barang bendawi atau harta duniawi yang berlebihan juga membawa resiko yang lebih besar, meskipun itu bisa ditanggulangi namun kenyataan bahwa semua kepemilikan itu hanya memberi kebahagiaan sementara tidak bisa disangkal. Sebab benda itu bersifat tetap, ia tidak bisa berubah. 

Sedangkan manusia itu fleksibel ia selalu berkembang melalui pikiran, perasaan, dan kehendaknya. Itu sebabnya kepemilikan atas kebendaan akan membuat cepat bosan dan menginginkan yang lebih baru, lebih up to date, jika tidak demikian akan dibully sebagai kudet alias kurang up to date.

Sindrom Hedonic Treadmill menggambarkan dengan jelas bagaimana seseorang terjebak dalam usaha memiliki lebih banyak untuk mengejar kebahagiaan yang tidak pernah tercapai karena salah konsepsi. 

Pada awalnya memiliki sepatu seharga 150 ribu sudah senang karena menambah kepercayaan diri, lalu ketika muncul sepatu lebih baru dengan harga 300 ribu sepertinya lebih menarik apalagi banyak yang memakainya maka dibelilah sepatu itu. 

Tidak lama kemudian teman sebelah memakai sepatu seharga 500 ribu yang lebih nyaman dan ada voucher diskon wah ini menyenangkan, rasa bahagia atas sepatu 300 ribu menjadi lenyap, jadi okelah dibeli dengan sedikit pengorbanan terhadap kebutuhan yang lain. 

Belum genap dua bulan ada teman tampil trendy dengan sepatu lebih baru lagi seharga 750 ribu, ah  menarik, modal 750 ribu walau harus memotong jatah bulanan rumah tapi bisa tampil trendy dan menjadi trend setter, yang penting bahagia. Tetapi setelah beberapa waktu rasa senang, bangga, bahagia itu hilang. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline