Lihat ke Halaman Asli

Gerardus Kuma

Non Scholae Sed Vitae Discimus

Jalan Sunyi Oposisi

Diperbarui: 15 Mei 2020   21:14

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

sumber: sindonews.com

Pasca penetapan hasil pilpres oleh KPU, pertanyaan yang menggantung di benak public adalah bagaimana Presiden terpilih membentuk koalisi dan Prabowo cs membangun opsosisi? Rakyat dibuat penasaran karena pergerakan politik pasca pemilu semakin dinamis dan arah dukungan parpol terus mencair.

Koalisi partai politik pengusung capres-cawapres yang dibangun selama pilpres telah dibubarkan. Diawali pembubaran Badan Pemenang Pemilu (PBN) oleh koalisi Indonesia Adil dan Makmur yang mengusung Prabowo-Sandi, kemudian diikuti pembubaran Tim Kampanye Nasional (TKN) oleh koalisi Indonesia Kerja yang mengusung Jokowi-Amin. 

Setelah dibubarkan, antara dua koalisi ini yang masih menunjukkan kekompakan adalah partai pengusung Jokowi-Amin sebagai pemenang pemilu. Sementara koalisi pengusung Prabowo-Sandi terlihat "retak" dan masing-masing parpol cendrung mencari jalan sendiri. Bahkan sebelum koalisi benar-benar dibubarkan, tanda-tanda keretakan sudah terlihat. Hal ini dapat diidentifikasi dari sikap (elit) partai Demokrat dan PAN yang "ngebet" bertemu dengan Jokowi sebagai Presiden terpilih.

Setelah koalisi benar-benar dibubarkan, Gerindra sebagai pengusung utama Prabowo-Sandi mempersilahkan sesama partai koalisi menentukan sikap sendiri, apakah tetap menjadi oposisi atau berkoalisi dengan Pemerintahan terpilih. 

Sementara Gerindra, walau masih malu-malu secara samar mulai mengubah haluan politiknya. Diawali pertemuan Jokowi-Prabowo di MRT, Prabowo kemudian bertandang ke kediaman Megawati. Kunjungan Prabowo ke Teuku Umar (rumah Megawati), bagi masyarakat awam merupakan sinyal merapatnya Gerindra ke pemerintah. Walau demikian, kita belum bisa menebak kemana haluan politik Gerindra berlabuh.

Wacana penjajakan koalisi berjalan seiring waktu. Manuver elit parpol menguatkan dugaan bahwa parpol dan politisi hanya ingin memenuhi ambisi kekuasaan. Masuk menjadi bagian koalisi pemerintahan tentu memberikan keuntungan bagi partai. 

Selain itu ada sejumlah agenda politik baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang yang ingin diamankan parpol. Dalam jangka pendek, agenda politik itu terlihat misalnyai ikut menikmati "kue" kekuasaan melalui jatah menteri yang ditawarkan. Sementara agenda politik jangka panjang adalah persiapan mengahadapi pemilu kali berikut.

Politik memang begitu. Tidak ada kawan dan atau lawan yang abadi. Dalam politik, hanya kepentingan yang abadi. Dinamika politik pasca pilpres ini semakin menguatkan thesis Harold Laswell bahwa politik adalah masalah siapa mendapat apa, kapan dan bagaimana (politics is who gets what, when and how).

Manuver partai politik untuk masuk dalam pemerintahan patut menjadi kekhawatiran karena dengannya oposisi menjadi tiada. Dalam demokrasi, oposisi adalah keniscayaan. 

Ludger Helms (2004) dalam Five Ways of Institutionalizing Political Opposition: Lessons from the Advanced Democracies sebagaimana dikutip Agus Riewanto, mengingatkan, demokrasi tanpa oposisi adalah demokrasi beku yang tak sehat karena tanpa kritik konstruktif dan tanpa program alternative (Kompas, 15/07/2019; hal.7). Pemerintahan demokratis membutuhkan control (check and balance), dan peran ini dimainkan oleh oposisi. Kontrol oposisi ini dimaksudkan agar pemerintahan bisa berjalan efektif.

Nihilnya kekuatan oposisi akan membahayakan jalannya pemerintahan demokratis. Dengan adanya oposisi, kerja pemerintah menjadi terawasi. Kehadiran oposisi di parlemen sebagai lembaga pengawas, memastikan kebijakan-kebijakan pemerintah dapat terkawal. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline