Mohon tunggu...
Gerardus Kuma
Gerardus Kuma Mohon Tunggu... Guru - Non Scholae Sed Vitae Discimus

Gerardus Kuma. Pernah belajar di STKIP St. Paulus Ruteng-Flores. Suka membaca dan menulis. Tertarik dengan pendidikan dan politik. Dan menulis tentang kedua bidang.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Jalan Sunyi Oposisi

15 Mei 2020   20:56 Diperbarui: 15 Mei 2020   21:14 75
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber: sindonews.com

Bayangkan bila pemerintahan Jokowi-Amin berjalan tanpa oposisi. Sudah tentu fungsi control legislative akan lumpuh. Jika kontrol legislative terhadap pemerintah macet, konsekuensi terburuknya pemerintahan bisa berjalan otoriter. Karena itu peran vital oposisi diperlukan sebagai kekuatan kritik dan penyeimbang agar kekuasaan tidak terjerembab dalam tirani.

Dalam sejarah politik di Indonesia, oposisi tetap mendapat tempat meskipun dalam perjalanannya mengalami pasang surut. Pada masa pemerintahan Presiden Soekarno (1945-1967), peran oposisi dimainkan Partai Masyumi yang dipimpin M. Natsir. 

Namun, pada masa Demokrasi Terpimpin (1959-1966), peran oposisi dimandulkan dengan pembubaran parpol yang bersikap oposisi terhadap pemerintah. Pemandulan peran oposisi ini terus berlanjut di era Orde Baru. Peran oposisi mulai kembali terbuka di era reformasi, terutama di era pemilihan presiden secara langsung. 

Pada periode pertama pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (2004-2009), PDI-P bersama sejumlah parpol lain yang ada di luar pemerintah memiliki 26,7 persen kursi DPR. Meski jumlah kursinya di bawah partai pendukung pemerintah, kritikan mereka sudah muncul di sejumlah isu, seperti kenaikan harga BBM dan bantuan langsung tunai. 

Peran oposisi berlanjut ketika Yudhoyono kembali terpilih menjadi presiden pada Pemilu 2009 dengan porsi penguasaan kursi parlemen tak jauh beda dengan sebelumnya. Pasca-Pemilu 2014, PDI-P menjadi partai pemenang, sedangkan Gerindra, PKS, dan Demokrat ada di luar pemerintahan. Ketiga parpol itu menguasai 31,1 persen, meningkat dibandingkan kekuatan oposisi di periode sebelumnya (Kompas, 20/17/2019; hal.3).

Oposisi diperlukan untuk menjaga roda pemerintahan demokratis berjalan di atas relnya. Tanpa oposisi, politik Indonesia bisa kehilangan arah karena pemerintah berjalan tanpa kontrol dan pengawasan. Indonesia pernah mengalami bagaimana mandulnya suara kritis legislative karena tidak ada oposisi pada masa pemerintahan Orde Baru. DPR saat itu bagaikan macan ompong dan tidak lebih dari "kumpulan" anggota koor yang hanya tahu nyanyian lagu setuju, sebagaimana kritik Iwan Fals.

Moch Nurhasim, peneliti pada pusat penelitian LIPI memaparkan dua alasan perlunya oposisi politik (Kompas, 17/07/2019; hal.6). 

Pertama, untuk menjaga agar tak terjadi kecenderungan politik yang menyerap semua kekuatan-kekuatan politik ada dalam barisan pemerintahan. Fenomena koalisi kartel yang menyerap kekuatan politik dan masyarakat (civil society) dapat mengarah pada munculnya demokrasi bergaya tirani mayoritas. 

Kedua, pemerintahan demokratis yang bergaya "mayoritas mutlak" akan mengarah pada pemerintahan demokrasi anti-kritik. Kritik cenderung tak diberi ruang dan tempat yang sama pentingnya dengan pihak yang mendukung pemerintahan. Gejala demikian bisa memundurkan perkembangan demokrasi kita saat ini dan ke depan. 

Oleh karena itu, elite politik perlu menyadari bahwa oposisi politik sama derajatnya dengan pihak yang memerintah, karena demokrasi tanpa oposisi justru melahirkan kekuasaan absolut. Secara teori, kekuasaan absolut berpotensi menimbulkan penyimpangan dan korupsi.

Indonesia menganut system pemerintahan presidensial bukan parlementer. Karena itu tanpa koalisi di parlemen, pemerintah tetap terbentuk dan berjalan. Namun dalam system presidential problem akan muncul ketika Presiden menjalankan program-program pemerintahannya. Dalam hal ini program ini akan terhambat bila tidak mendapat dukungan mayoritas di parlement.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun