Lihat ke Halaman Asli

Belajar Berhaji pada Seorang Janda

Diperbarui: 29 Desember 2018   15:34

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber: vemale.com

Saya masih berumur belasan tahun ketika Ibu berlangganan majalah religi yang amat kondang di kala itu. Salah satu majalah, yang kini raib entah ke mana, memuat sebuah kisah nyata tentang perjuangan seorang ibu demi berhaji ke Tanah Suci. Itu adalah satu dari segelintir kisah masa kanak yang melekat di ingatan saya, yang kini saya bagikan kepada Anda.

Tokoh kisah tersebut bernama Mashitah, seorang wanita paruh baya yang bermukim di pedalaman tanah Sunda. Beliau telah menjanda sejak tahun-tahun pertama pernikahannya, tak menikah lagi dengan siapa pun, dan memilih untuk membesarkan anaknya semata wayang.

Ibu Mashitah mencari nafkah dengan menjadi penjual sayur keliling, satu-satunya profesi yang ditekuninya hingga akhir hayat. Para tetangga mengenang Ibu Mashitah sebagai pedagang yang jujur.

Pernah suatu ketika beliau lupa tak memberi uang kembalian kepada seorang pembeli. Uang kembalian itu besarnya tak seberapa sehingga sang pembeli, yang mengerti kondisi ekonomi Ibu Mashitah, merelakannya. Namun, beberapa hari kemudian Ibu Mashitah berkunjung ke rumahnya, meminta maaf dan mengembalikan uangnya, meskipun saat itu hari sudah malam.

"Beliau takut akan lupa lagi jika harus menunggu sampai pagi," terang sang pembeli yang tinggal sedesa dengan Ibu Mashitah. "Padahal cuma lima ratus rupiah."

Ibu Mashitah juga dikenal sebagai seseorang yang taat beribadah. Tak pernah beliau meninggalkan shalat berjamaah di surau, sekalipun beliau sedang sakit atau dihadang cuaca buruk. Bersama anaknya yang telah menginjak usia remaja, beliau rutin menghadiri pengajian yang biasa diadakan di pelbagai masjid di sekitarnya.

"Tiap kali pulang dari pengajian, tas Ibu selalu penuh dengan paku-paku berkarat dan duri-duri yang beliau temukan di jalan," kenang sang anak, yang pada saat diliput oleh majalah itu telah berumur tiga puluh delapan tahun. "Ibu khawatir pada pengendara yang bakal celaka akibat benda-benda tersebut."

Satu hal lain mengenai Ibu Mashitah yang diketahui siapa pun adalah keinginannya untuk beribadah haji. Tiap kali bertemu pembeli, atau bercengkerama dengan jamaah pengajian, atau ketika mengobrol berdua dengan anaknya, pembicaraan Ibu Mashitah tak pernah jauh-jauh dari ibadah haji; tentang nikmatnya berwukuf di Arafah, tentang bagaimana melempar jumrah dengan benar, dan di atas segalanya, tentang obsesinya melihat Kabah.

Cita-cita tersebut telah tertanam kuat sejak beliau masih muda. Segala ibadah yang beliau lakukan, menurut beliau, adalah persiapan yang mutlak dilakukan sebelum berangkat ke Makkah suatu hari nanti. Beliau yakin bahwa Allah akan menjawab doanya, mengabulkan satu-satunya hal yang beliau inginkan melebihi apa pun.

Namun, Ibu Mashitah mengerti kalau keyakinan dan doa saja tak pernah cukup untuk meraih cita-cita. Maka, dimulai sejak beliau menjanda, setiap hari beliau menyisihkan pendapatannya, menabung koin demi koin di dalam batang-batang bambu yang menjadi tiang penyangga rumahnya. Bambu-bambu itu dilubangi pada tiap ruasnya, dan di sanalah cita-cita Ibu Mashitah tersimpan.

Jika Anda menganggap apa yang beliau lakukan adalah sesuatu yang konyol, maka Anda tidak sendirian. Para tetangga pun berpikir demikian meskipun tak secara terang-terangan mencemooh Ibu Mashitah. Mereka percaya bahwa cara tersebut tak akan mengirim Ibu Mashitah ke Kabah, sebab besar peluang beliau jenuh menabung dan menanti di tengah upayanya, atau barangkali tabungannya tak akan pernah cukup hingga beliau wafat kelak.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline