Lihat ke Halaman Asli

Kristianto Naku

TERVERIFIKASI

Analis

Perkawinan Kristiani dan Konsensus

Diperbarui: 30 November 2021   23:17

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Perkawinan Kristiani. Sumber: https://intisari.grid.id.

Dalam Maleakhi 2:10-16 ditegaskan bahwa Allah tidak berkenan atas praktik kawin campur. Perkawinan campur dianggap merusak "perjanjian" yang dikukuhkan antara Allah dan Israel di Gunung Sinai. Alasan larangan ini tentunya demi "keselamatan."

Selain melarang perkawinan campur, perceraian juga dilarang karena dianggap merusak "perjanjian" antara Yahwe dan Israel. Perkawinan dengan orang kafir dianggap merusak "perjanjian" antara Yahwe dan Israel. Oleh karena itu, perkawinan berciri tak terceraikan. Hal ini akan dipertegas dalam Perjanjian Baru. "Apa yang telah dipersatukan oleh Allah, tidak boleh diceraikan oleh manusia" (Matius 19:6).

Akhirnya, Nabi Maleakhi juga menekankan ciri prokreatif dari perkawinan dengan tidak menunjukkan keterpecahan di antara keduannya (suami dan isteri).

Allah membangun relasi dengan bangsa pilihan-Nya Israel atas dasar sebuah perjanjian. Dalam Perjanjian Lama, yang diselamatkan hanya bangsa pilihan Yahwe, yakni Israel, sedangkan dalam Perjanjian Baru, keselamatan ditawarkan bagi seluruh bangsa (Universalitas Keselamatan).

Dalam Perjanjian Lama, keselamatan terletak pada keturunan, sedangkan dalam Perjanjian Baru, keselamatan justru pada kepercayaan -- melakukan kehendak Bapa atau tidak, bukan dalam keturunan suku bangsa seperti Israel dalam Perjanjian Lama.

Dalam tradisi Perjanjian Lama, orang Yahudi dilarang untuk menikah dengan bagsa lain yang mereka anggap sebagai bangsa kafir dan tidak mendapat rahmat keselamatan dari Allah.

Dalam Gereja, pernikahan antara fideles dan infideles dilarang karena bukan sakramen. Hal ini dimungkinkan jika diberikan dispensasi, yakni disparitas cultus. Diakatakan bukan sakramen karena pihak infideles tidak memberikan sakramen kepada pasangannya.

Dalam hal ini, seorang imam hanya menjadi peneguh perkawinan, sedangkan yang bertugas memberi dan menerima adalah kedua mempelai. "Nemo dat quod non habet" (Anda tidak memberikan apa yang tidak ada pada diri Anda).

Maka penting bahwa, antara pria dan wanita harus sama-sama beriman agar kehadiran Allah membantu pembentukan dan kelanggengan keluarga di kemudian hari.

Ciri kesetiaan justru datang dari keberimanan pasangan. Aspek religius dalam perkawinan menunjuk pada suatu harapan, yakni keselamatan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline