Lihat ke Halaman Asli

Bintang Alief Primaksara

Mahasiswa Politeknik APP Jakarta (d/h Akademi Pimpinan Perusahaan)

Ketika Bangkai Tikus Bicara

Diperbarui: 25 Maret 2025   12:42

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

ilustrasi paket misterius (ai)


Pada suatu pagi, di meja redaksi yang biasa dipenuhi gelas kopi dan tumpukan laporan, tiba-tiba ada sesuatu yang berbeda. Bungkusan misterius itu tergeletak, diam. Tak ada suara selain deru AC yang menusuk hening. Kepala babi tanpa telinga. Enam bangkai tikus yang dipenggal. Tidak ada kata-kata, hanya bau amis yang menggantung di udara.

Tempo menerimanya. Sebuah pesan tanpa suara. Tapi ia berbicara lebih lantang dari apapun.

Mahar Prastowo, wartawan lawas yang juga pengurus Serikat Media Siber Indonesia (SMSI) Jakarta Timur, tahu betul makna teror semacam ini. Ia seorang wartawan yang telah melalui zaman mesin ketik hingga era digital. Tangannya pernah menggesek pita karbon, sebelum akhirnya mengetuk-ngetuk keyboard dalam ruang sunyi. Tapi satu hal yang tak pernah berubah adalah ancaman bagi mereka yang menuliskan kebenaran.

"Ini bukan sekadar ancaman untuk Tempo," kata Mahar. "Ini peringatan untuk siapa saja yang berani bicara. Sebuah upaya membungkam. Tapi apakah kita akan diam?"

Sikap tegas juga disampaikan Ketua Umum PJS, Mahmud Marhaba. Ia mengecam keras tindakan teror tersebut sebagai ancaman langsung terhadap kebebasan pers di Indonesia. Menurutnya, tindakan ini tidak hanya menargetkan satu media, tetapi seluruh insan pers yang berjuang di garda depan untuk menyampaikan kebenaran.

Pesan dari Tikus-Tikus

Tikus mati. Babi tanpa telinga. Itu adalah simbol yang tak perlu diterjemahkan oleh kamus. Ada yang ingin berkata bahwa mereka bisa memotong siapa saja. Menyumpal telinga agar tak mendengar. Tapi barangkali, dalam upaya mengancam, justru mereka membuat suara semakin bising.

Mahar mengingat masa ketika ancaman tak selalu datang lewat paket mengerikan. Ada masa di mana wartawan dipanggil ke kantor militer. Ada juga saat-saat ketika berita terbit dengan paragraf yang kosong, karena sensor telah bekerja. Tapi ancaman fisik, betapapun primitifnya, masih menghantui hingga kini.

"Dulu mereka takut pada suara mesin ketik. Sekarang mereka takut pada suara notifikasi berita di ponsel. Tapi ketakutan mereka sama. Mereka takut pada kebenaran," ujarnya.

Bertahan dalam Sepi

Di daerah-daerah, cerita seperti ini bukan hal baru. Jojo Rumampuk menyebut bahwa wartawan di sana pun menerima ancaman. Tapi tak ada paket mencolok. Tak ada sorotan kamera. Hanya tatapan dingin di jalan, atau pesan singkat tanpa nama.

"Kami juga diteror. Tapi karena kami bukan media besar, tak ada yang peduli," kata Jojo.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline