Lihat ke Halaman Asli

Acek Rudy

TERVERIFIKASI

Palu Gada

Perbedaan dan Persamaan adalah Sebuah Kenyataan yang Absurd

Diperbarui: 17 November 2020   06:26

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi Perbedaan dan Persamaan adalah Sebuah Kenyataan yang Absurd (sumber: clipartkey.com)

Manusia dilahirkan dengan sebuah pertanyaan yang besar. Mengapa aku ada, dan siapakah diriku? Seorang bayi mulai mengenal dirinya, dan di saat yang sama, ia juga belajar mengenali orang-orang terdekat dan lingkungannya.

Ia memahami perbedaan dan sekaligus persamaan dalam bentuk absurd. Aku ada, demikian juga kedua orangtuaku. Seiring waktu berjalan, sang balita merasa nyaman dengan perbedaannya. Apa yang menjadi kekurangannya, akan dipenuhi oleh kedua orangtuanya. Di saat yang sama, ia juga merasakan persamaan melalui cinta kasih dari orang-orang terdekatnya.

Manusia butuh pertemanan, karena ia adalah mahluk sosial. Namun persahabatan saja tidaklah lengkap tanpa ketertarikan yang sama.

Sebuah keluarga dipersatukan dalam sebuah tujuan yang sama. Istilah hubungan darah menjadi perekat. Istilah keturunan menjadi sebuah persamaan. Istilah marga menjadi sebuah marwah yang harus dijaga.

Seiring waktu berjalan, persamaan ini menjadi sebuah kenyataan yang semakin jelas. Di awal sekolah, diri mulai menyeleksi kawan yang dianggap "sama." Enak diajak berbicara, enak diajak bermain, dan enak diajak bercanda. Kawan-kawan yang tidak "satu frekuensi" kemudian mulai disingkirkan, bahkan dimusuhi.

"Ryu-kahn, kenapa kamu suka berkawan dengan Albert, Veluna, dan Rafael?"

"Karena kita semua sama, Pa."

Dari persahabatan ini, muncullah identitas kelompok. Identitas berdasarkan kelas, berdasarkan sekolah, lingkungan, hobi, agama, bahkan ras. Tidak ada alasan yang resmi, mengapa persahabatan kelompok ini terjadi, yang pasti, ada sebuah persamaan yang muncul.

Lantas, apakah pada akhirnya manusia memang membutuhkan persamaan? Apakah sebuah komunitas akan langgeng karena adanya persamaan? Apakah memang manusia memang hanya menyukai persamaan saja?

Penulis menggarisbawahi kata sama. Jika memang demikian, perlukah kita menyoalkan perbedaan?

Tanpa disadari, insting manusia yang menyukai persamaan, kemudian juga mengarahkan dirinya untuk mempermasalahkan perbedaan. Memaksa kehendak, menuntut persamaan, mengadili perlakuan, tiada akan habisnya selama perbedaan masih terjadi.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline