Lihat ke Halaman Asli

Kehendak Mengubah Nasib

Diperbarui: 11 Agustus 2020   10:29

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

ilustrasi: pixabay.com

Sejengkal langkah seperti sudah harus terpikirkan bagaimana langkah itu pada akhirnya harus dilalui oleh diri saya. Pertimbangan memang bukan hanya akan banyak.

Namun bagi seorang manusia yang berpengetahuan, pertimbangan tentang kemungkinan selalu dapat tercabangkan, kira-kira kemana manusia akan melangkah pada akhirnya ketika kekecewaan atas apa yang dilakukan menghadangnya?

Mengadu nasib bukankah seperti bermain dadu yang nilai dan bilangannya sama. Tidak sadar didalam manusia mengharap, saya juga seperti telah menelan berbagai harapan pahit tersebut dari tempat kerja kini. 

"Menyambut perubahan nasib hidup memang sangatlah sulit, bukan sulit karena tidak mampu, tetapi pertimbangan akan ketakutan merubah nasib itu sendiri yang terkadang menjadi ganjalan manusia untuk menjadi berani".

Terkadang manusia juga harus berpikir bagaimana ketika tidak ada pemasukan akan uang itu dari kerja? Rasanya ada sedikit pemasukan akan uang dari kerja lebih baik dari pada tidak sama sekali. Tetapi apakah manusia akan terus hidup stagnan setiap bulannya tanpa pernah berpikir atau bertindak memperbaikinya?

Tidak untuk munafik, manusia hidup didunia, apakah kita tidak harus berpikir tentang dunia? Terus memeperbaiki kualitas hidup sepertinya menjadi hal yang utama untuk diperjuangkan. Bahkan oleh satu manusia supaya hidup tidak terkatung-katung oleh nasib yang tidak diperjuangkannya sendiri?

Namun menjadi pekerja abad ke-21 bukanlah hal yang mudah, disisi lain kita harus rela waktumu habis disana, kau juga harus rela uangmu habis untuk kebutuhanmu yang tidak seberapa itu. Saat ini gaji sebatas upah minimum bisa untuk beli apa? 

Untuk bensin dan keperluan makan, belanja sederhana saja sudah kelar tidak tersisa. Apalagi ditambah ketika kau ingin hidup mewah, sungguh itu tidak akan bisa terkecuali hutang sana-sini, gali lobang dan tutup lobang saja setiap hari.

Miris, ini bukanlah suatu kemirisan saja tetapi apa daya ini sebagai hal yang melampaui miris. Nyatanya saling lihat dan melihat antar manusia satu dan lainnya; tetaplah menjadi ajang yang menggoda bagi kita. Mungkin orang yang belum bekerja, akan terlihat lebih indah jika sudah bekerja, tetapi dengan orang yang bekerja disana, kok sama saja kerja rasa tidak kerja?

Karena apa, dalam kerja bukankah yang pertama kali dilihat adalah hasil dari kerja itu sendiri? Inilah yang terkadang ambigu itu? Disana ada orang yang bergaji tinggi, hidup bisa kecukupan dan lebih, apakah setiap manusia tidak mempunyai kesempatan yang sama untuk mengubah nasibnya sendiri? Dapat menikmati sesuatu yang mungkin dinikmati pula oleh orang lain disana?

Dalam kediaman ini, suara kipas angin tengah malam dan udara panas kini menerjang, mengapa hari ini tidak hujan saja untuk mendinginkan suasana pikiran dan batin yang bergejolak? Nasib seperti dadu itu dengan bilangan yang sama didalammnya. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline