Lihat ke Halaman Asli

Filosofi Seni Tari Kuda Lumping

Diperbarui: 24 Desember 2019   05:09

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

sumber gambar: dokpri

Sore di suatu Desa, memang hiburan sangatlah ditunggu, apalagi ini merupakan hari minggu dimana banyak anak-anak sekolah juga para pekerja menikmati hari libur. Mungkin menjadi sesuatu yang benar: hiburan adalah kebudayaan!

Seyogyanya hiburan itu, ia dibutuhkan semua lapisan masyarakat untuk mengisi waktu hidup mereka untuk dibudayakan, supaya saling membahagiakan antar manusia satu dengan lainnya di dalam waktu kehidupan mereka.

Kuda lumping dan bau kemenyan memang tidak dapat dilepaskan setiap pagelarannya. Entah apa yang mempengaruhi itu, Kemenyan sepertinya memang mempunyai sisi magis yang tersembunyi dibalaik segumpalan energi yang mempengaruhinya bagi hidup manusia dengan wanginya.

Karena ketika hentakan musik dari gamelan itu meninggi, bau kemenyan semakin menyengat, dukun Kuda Lumping melakukan kontemplasi, sejak itu banyak dari pemain kuda lumping kerasukan (wuru) bersama dengan penonton yang sedang duduk sekitarnya.

Memang baik penonton atau pemainnya sendiri, mereka bukanlah berangkat dari kepolosan tanpa pernah menyelami kebatinan didalammnya. 

Saya kira tetap, ada ritual khusus tertentu agar mereka dapat seperti tidak sadar menikmati musik dari gamelan Kuda Lumping yang disajikan; istilahnya "wuru" dalam bahasa Banyumasan untuk simbol pemain atau penonton yang kerasukan.

Menalar tradisi leluhur berbentuk kebudayaan memang sangat rumit, tetapi ketika kita "manusia" sudah menyentuh dua dimensi antara dimensi badan dan batin, saya menyangka titik cerah dalam menalarnya menjadi mungkin meskipun hanya sebatas menjadi hipotesa pribadi saja. 

Dalam menyelami kebudayaan sendiri, memang bukan hanya dibutuhkan intelektual penalaran otak, tetapi juga penalaran intelektual batin manusia.

Seperti pertanyaan banyak orang, apakah kerasukan dalam tradisi Kuda Lumping tersebut dirasuki oleh arwah leluhur atau jin-jin yang ingin menumpang diwadah atau badan manusia untuk ikut menikmati musik gamelan?

Bukan, tidak semudah dan sesderhana itu dalam kesimpulannya. Saya tarik kesimpulan disini bahwa; "setiap makluk jika ada makluk yang lain, mereka punya dimensi tersendiri, dan dimensi itu tidak akan pernah pada kehidupan yang sama".     

Dan jawaban saya akan nilai dari tradisi Kuda Lumping yang terus dibudayakan oleh latar belakang kapanpun waktu kehidupan manusia Jawa, adalah peranan jiwa yang dilatih oleh manusia itu sendiri sebagai pemian kuda lumping, atau penonton yang sebelumnya sudah melakukan ritual menyentuh jiwanya sendiri dengan musik dalam hal ini "musik gamelan" untuk dapat bersinergi didalamnya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline