Lihat ke Halaman Asli

Kota dan Nasib Perantau Tanggung

Diperbarui: 11 Juni 2019   16:35

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

ilustrasi: Warga berdatangan ke Ibu Kota | Antara

Kali ini aku merasa bahwa kekhawatiran telah berubah menjadi rimba-rimba itu di tengah gedung-gedung tinggi. Ketika diri ini berhenti, ada kalanya ia ingin melangkah menelusuri gemerlapnya kehidupan kota yang menggoda.

"Ah, rasanya seperti kekhawatiran yang ingin terus dilestarikan, tidak maju jika tidak merasakan dan melajutkan perjuangan hidup dalam kota".

Di mana-mana yang tengah terjadi kini orang sedang membangun kebersamaannya. Entah bagaimana caranya nyaman dengan kebersamaan itu? Setidaknya inilah kata yang akan dan harus aku ucapkan. Kebanggaan, menjadi lebih tinggi dan kuasa akan hingar-bingar, menjadi mimpi baru para perantau yang kini tengah mudik ke desa.

Tetapi di sudut ruang sempit ini, aku mulai merenungi, aku berpikir dan setidaknya ada aku dalam pikiranku. Sudah beberapa hari ini aku tidak menulis, ya tentu sibuk medera waktuku. Karena aku pun sama untuk melestarikan kebersamaan itu, sehingga melupakan waktu untuk sekadar melanjutkan menulis. 

Dalam narasi setahun dalam sekali ini, kita bercengkrama bersama, saling bertanya bagaimana kabar, dan himpunan basa-basi yang saling meungungkap suatu kebesaran atau kekecilan nasib sebagai kaum perantauan.

Lama nian rasanya seakan menjadi tradisi itu, setelah berpetualang jauh dari desa kampung halaman kita, apa yang telah engkau dapat? Tidak ubahnya tentang kendaraan roda empat itu, roda dua dengan sporty, atau anak-anak mereka yang digendong bersalaman ke tempat sanak-saudara, bahkan menapaki jejak ke rumah tetangga.

Gambar ilustrasi diambil dari brilio.com

Yang tidak menjawab impian itu dalam bayangannya. Terkadang dari sana terdengar suara riuh yang sebenarnya upaya menunjukan bahwa, ia adalah perantau tanggung itu, "punya uang atau tidak terpenting mudik". 

Bagi perantau tanggung memang begitu, rupanya perantauan bukanlah lahan keberhasilan itu setidaknya ini bagi wacana semesta berpikir perantau tanggung. Hanya saja "tanah perantauan" merupakan lahan bermain sembari mencari makan, itu tidak lebih.

Beruntunglah mereka dengan embel-embel dapat membeli sesuatu yang lebih di tanah perantauannya untuk dibawa pulang ke desa setidaknya membekas sebagai bukti. 

Aku kira tidak ada kesombongan, ketika merantau, ia menunjukan hasil dari apa yang dicarai dari petualangan merantau di sana sangat wajar. Dalam setiap perjuangannya, menunjukan hasil pada apa yang telah didapatnya merupakan ciri, "tidak sia-sia upaya jauh berkelana dari Desa ke Kota".

Untuk itu, manusia tidak lepas dari membangun setiap nasibnya, tentu dalam hal ini membangun kebanggaan semua tentang dirinya. Oleh karenanya, hidup tidak selalu seberuntung mereka yang mulai membangun nasibnya di tanah perantauan itu. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline