Lihat ke Halaman Asli

Hidup Sebagai Lajang, Apa yang Harus Dilakukan?

Diperbarui: 20 Maret 2019   17:12

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pemandangan pinggir Pantai Menganti, Kebumen, Jawa tengah [Gambar: Dokpri]

Apa betul kopi itu selamanya rasanya pahit? Sepertinya itu tidak selama ada upaya meracik dengan bahan yang dapat menambah manis. Kata teman, "saya-lah si bujang lapuk itu", horor memang, ada-kalanya  membuat parno. 

Tetapi apapun itu namanya tidak menjadi masalah. Kenyataan-nya saya memang masih membujang dan entah sampai kapan akan mengakhirinya. "Hidup seperti dalam ketidakpastian langkah kaki yang harus ditempuh".

Ada pepatah bilang, "Truk saja gandengan masa kamu tidak" menjadi pertanyaan, sebegitukah analogi ungkapan bagi seseorang yang melajang? Sulit disangkal memang, analogi apapun rasannya pantas jika hidup dalam kesendirian. Tunggu! Ini bukanlah akhir, tetapi awal dari, percayalah!

Ini memang tidak mudah, tetapi cukup menenangkan pikiran jika berpikir saat ini. Saya ingin ibaratakan, "kelajangan", jika manusia itu burung. Ia bisa terbang setinggi-tingginya tanpa beban "ia harus pulang ke rumah menjumpai Anak dan Istrinya". 

Memang terkesan seperti urakan, kadang pula ia tersesat. Berimajinasi tentang gaya hidup "Anak Jalanan" pantas disematkan pada kelajangan. Untuk itu, membuat kelajangan berbeda-pun harus mutlak dilakukan sebagai "Lajang" itu sendiri. Di tambah dengan kehidupan modern yang semakin kompleks dari sisi tata kehidupannya.

Tetap seberapa jauh Layangan itu terbang, ia punya dasar yang kuat untuk menahan supaya layangan tidak terbang secara tidak beraturan. Pasti, dengan kepolosan Anak kecil-pun ia tahu, harus mengikatkan benang yang dijadikan mediator terbangnya Layangan. Agar pada saat angin datang dengan kecangnya, ia tidak akan terbawa angin itu, karena dasar dari pegangnya kuat.

Sama halnya kelajangan yang harus direkam dengan baik. Lajang berarti bebas, tanpa terikat, tidak ada Istri yang menunggu dirumah, Anak yang merengek minta ditemani Ayah-nya. Bukan kelajangan tidak ada kesempatan ada ,"untuk menjadi ditunggu Istri", "menemani bermain Anak". Lajang hanya diistimewakan oleh waktu.

Namun kebebasan dalam "Lajang" memilih dirinya, untuk menentukan menjadi apa selagi masih hidup dalam kelajangan. Waktu yang dilebihkan jika dibandingkan dengan seorang yang sudah menikah. Kepuasan dalam menjadi Lajang: ia menetukan sendiri, mau "jadi" atau, untuk "apa" dirinya. Tiada yang lain, dirinya sendirilah yang menetukan. Menyesali atau mensyukuri dimasa ia sudah tidak melajang lagi?

Dalam bayang semesta pikiran memang mengoda imajinasi, jika waktu itu berlalu, seseorang akan terbawa berpikir, apa yang sudah dilakukan Ibaratnya, "penyesalan datang pada akhir keadaan setelah tersadar". 

Jika penyesalan datang di awal namanya "pendaftaran", itulah cloteh orang-orang menghibur dirinya sendiri. Karna tidak ada ungkapan selain menghibur dirinya. Agar tidak terlalu jauh juga ia hidup dalam penyesalannya yang ia buat sendiri. Ceroboh dalam mengambil keputusan!

Artikulasi "Lajang" sendiri sangatlah luas jika, bila mau dijabarkan. Ibarat Manusia itu "mau menjadi" haruslah sadar bahwa di dalam kebebasannya terdapat potensi yang harus digalinya. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline