Rasanya ingin tertawa membaca istilah work-life balance, yang maknanya kira-kira semacam keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan sosial sehari-hari. Bagaimana tidak ingin tersenyum sendiri. Istilah ini sebenernya kemasan baru bagi istilah profesionalisme dan produktivitas.
Menjadi trend, perbincangan warga net dan milenial, mungkin karena istilahnya panjang dan tidak simpel atau sederhana. Sedikit rumit. Biar sedikit keren dan menaikkan citra diri saat ada yang mendengar atau membaca tulisannya. Walau yang dibicarakan, ujung-ujungnya tidak lepas dari kenyamanan kerja, upah, tanggungjawab, profesionalisme dan produktivitas kerja.
Pembicaraaan seputar keseimbangan hak dan tanggungjawab. Sikap profesional yang dapat menempatkan diri kapan waktunya bekerja dan kapan waktunya istirahat. Berlibur dan bercekerama dengan keluarga. Bagi yang single, dapat menikmati liburannya dengan gembira dan berkualitas.
Semua itu tujuannya, manakala pekerja, karyawan, buruh atau pegawai saat kembali bekerja. Memiliki semangat baru, merasa fresh, segar, lepas dari rasa kebosanan akibat rutinitas yang harus dilalui setiap hari.
(foto:featuready.com)
Mampu menjaga semangat dan daya dalam mengembangkan dan memajukan perusahaan lewat ketrampilan kerja yang semakin terasah dengan baik.Memiliki gagasan atau ide cemerlang lewat produk inovatif, yang mampu bersaing di pasaran. Menemukan cara pemasaran yang efektif dan efisien. Perusahaan dapat hemat pengeluaran namun malah banyak mendatangkan keuntungan atau pendapatan.
Work-life balance tidak lebih bagaimana mengatur kenyamanan bekerja dengan aktivitas di luar pekerjaan Seperti rekreasi, edukasi dan bersosialisasi. Tetapi tujuannya pada produktivitas.
(foto:tutorial pelajaran)
Namun kata balance di belakang kata work-life tidak ada artinya jika hanya fokus pada sisi pekerjanya saja. Tetapi di tempat kerja, pimpinan atau pemilik perusahaan otoriter, tidak memiliki sikap dan perilaku yang diharapkan pekerja. Yaitu keseimbangan atau balancing. Bukan pemerasan tenaga, pikiran serta loyalitas kerja terhadap perusahaan.Itu sama artinya anda dan pengusaha belum memahami isi dari UU no 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Lebih mengkhawatirkan lagi jika anda belum pernah membacanya sama sekali. Celakanya, survei kecil-kecilan yang pernah saya lakukan kepada pekerja kantoran, kebanyakan dari mereka belum pernah membaca. Bagaimana mereka bisa memahami jika sebenarnya antara pemberi kerja atau perusahaan dan pekerja adalah pihak saling membutuhkan. Ada keseimbangan lewat kebutuhan yang sama dan setara.
Maka tidak heran jika sebagian pekerja memaknai perusahaan berada posisi di atas. Merasa memiliki kuasa untuk mengatur bahkan menekan pekerja dengan berbagai kebijakan dan peraturan yang dibuat sesuai dengan keinginan yang menguntungkan perusahaan. Termasuk melanggar UU Ketenagakerjaan dan peraturan pemerintah lainnya tingkat pusat atau daerah.
(foto:bukukita.com)
Jika sebagai pekerja anda belum pernah membaca UU Ketenagakerjaan no 13 tahun 2003 bagaimana anda dapat memahami istilah keren bernama work-life balance, secara benar ?