Lihat ke Halaman Asli

Keberlangsungan Hidup Konsultan HKI dalam Visi Misi DJKI

Diperbarui: 13 Agustus 2017   16:29

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Keberadaan konsultan hak kekayaan intelektual (HKI) sudah ditetapkan dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 2 Tahun 2005 Tentang Konsultan Kekayaan Intelektual dan tata cara pengangkatan konsultan hak kekayaan intelektual ditetapkan juga dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia  No. 84 Tahun 2006.

Dalam PPRI No. 2 Tahun 2005 pasal 1 dijelaskan bahwa Konsultan Hak Kekayaan Intelektual adalah orang yang memiliki keahlian di bidang Hak Kekayaan Intelektual dan secara khusus memberikan jasa di bidang pengajuan dan pengurusan permohonan di bidang Hak Kekayaan Intelektual yang dikelola oleh Direktorat Jenderal dan terdaftar sebagai Konsultan Hak Kekayaan Intelektual di Direktorat Jenderal.

Agar menjadi Konsultan Hak Kekayaan yang terdaftar di DJKI, maka terlebih dahulu harus mengikuti pelatihan Konsultan Hak Kekayaan Intelektual yang diselenggarakan oleh DJKI dengan jangka waktu tertentu dimana perguruan tinggi tempat pelatihan beserta kurikulummnya ditetapkan oleh DJKI.

Masih berdasarkan PPRI No. 2 Tahun 2005 pasal 8 Konsultan Hak Kekayaan Intelektual berhak untuk mewakili, mendampingi, dan/atau membantu kepentingan pihak pengguna jasa untuk mengajukan dan mengurus permohonan di bidang Hak Kekayaan Intelektual kepada Direktorat Jenderal.

Berdasarkan informasi dari web telah tertuang visi misi DJKI sebagai berikut :

Dalam visi misi DJKI yang tertuang hanya mengenai pengelolaan, perlindungan dan kepastian hukum serta meningkatkan kepuasan masyarakat terhadap layanan KI. Dalam visi misi DJKI tidak sedikitpun mengikutsertakan peran dan keberadaan konsultan HKI yang terdaftar di DJKI.

Tidak hanya dalam visi misi DJKI yang meniadakan peran konsultan HKI, dalam link  yang ditujukan untuk memfasilitasi pengajuan pembuatan akun kekayaan intelektual tertulis sebagai berikut :

Dalam link tersebut diatas, penulis menyorot pada poin 2, dimana e-HakCipta yang merupakan aplikasi permohonan hak cipta secara elektronik dapat digunakan oleh masyarakat luas. Kebijakan ini mungkin sejalan dengan salah satu misi DJKI yaitu meningkatkan kepuasan masyarakat terhadap layanan KI. Tetapi, kebijakan ini tidak sejalan dengan PPRI No. 2 Tahun 2005 pasal 1.

Penulis pun menyimpan beberapa pertanyaan terkait hal yang sudah diungkapan diatas antara lain :

  • Apakah semua e-kekayaan intelektual kedepannya juga dapat digunakan oleh masyarakat luas?
  • Dimana peran konsultan HKI dalam jasa di bidang pengajuan dan pengurusan permohonan di bidang Hak Kekayaan Intelektual yang terdaftar sebagai Konsultan Hak Kekayaan Intelektual di Direktorat Jenderal jika e-kekayaan intelektual bisa digunakan oleh masyarakat luas?
  • Bagaimana keberlangsungan hidup konsultan HKI jika visi misi DJKI tidak sejalan dengan PPRI dan konsultan HKI tidak diakomodir dalam misi DJKI?

Jika pengajuan dan pengurusan permohonan di bidang Hak Kekayaan Intelektual tidak diwajibkan melalui konsultan HKI dan salah satu bukti e-HakCipta dapat digunakan oleh masyarakat luas, maka perlahan keberlangsungan hidup konsultan HKI hanya akan menjadi wacana, karena visi misi DJKI tidak sejalan dengan PPRI.

Penulis juga tergelitik akan sebuah kalimat terakhir dari tulisan Belinda Rosalina (2008) dalam web blognya yang berjudul Madrid Protocol: Untung dan Ruginya meratifikasi yang tertulis: "tentunya dengan pendapatan yang berkurang pada konsultan HKI akan berdampak pada penerimaan pajak oleh pemerintah".

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline