Lihat ke Halaman Asli

Khusnul Zaini

Libero Zona Mista

Tafsir di Balik Makna "Inkonstitusional Bersyarat" Omnibus Law

Diperbarui: 6 Desember 2021   06:08

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Kata "Kontroversi" dan kalimat "Menyandra Langkah Politik Presiden" mungkin cukup tepat untuk memaknai putusan Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) dalam Perkara Nomor 91/PUU-XVIII/2020 atas Uji Formil UU.No.11/2020 tentang Cipta Kerja.

Kepastian atas "Amar Putusan Hakim MK" yang tidak mencerminkan "sebuah kepastian hukum atas berlakunya UU" tetapi dinilai cacat secara formil itu, sejatinya menjadi "catatan buruk permanen" dalam sejarah peradilan di Indonesia.

Makna cacat formil bisa ditafsirkan dari sisi proses persyaratan perumusan dan kandungan materiil yang diajukan pemerintah kepada DPR.

Konsekwensi praktik sistem pemerintahan demokrasi memang berbiaya relatif mahal dalam pengawalannya. Berapa pengeluaran dana APBN yang bersumber dari sebagian pajak rakyat untuk membiayai penyiapan hingga penetapan UUCK ini?

Sebagai misal, niatan pemerintah membuat UU dengan metode omnibus law ini adalah satu bukti, yang tentu sudah ada kalkulasi resiko hingga antisipasi berikut solusi masalah yang dihadapi dan benar-benar terjadi sesuai yang diprediksi sejak awal niatan politiknya.

Prediksi berupa antisipasi hingga solusi masalah dimaksud, adalah menghadapi dan melaksanakan perintah amar putusan Hakim MK terhadap UUCK yang dinyatakan "Inkonstitusional Bersyarat" sesuai keputusan Hakim MK atas gugatan yang disampaikan Para Pemohon.

Apa konsekwensi hukum-politik "PUTUSAN Nomor 91/PUU-XVIII/2020" terhadap Hakim MK yang mengadili perkara konstitusi pada tingkat pertama dan terakhir dalam perkara Pengujian Formil UU.No.11/2020 tentang Cipta Kerja terhadap UUD 1945 tersebut?

Dalam perspektif politik, sosok 9 (sembilan) Hakim MK sedang menjadi sorotan public, mewakili para pelaku investasi, lingkungan akademisi, para politisi, hingga kalangan intelektual, kelompok asosiasi usaha, NGO dan organisasi profesional.

Setidaknya stigma yang melekat kepada para Hakim MK sebagai (1) peletak sejarah progresif putusan produk hukum baru, (2) pencipta yurisprudesi hukum baru, dan (3) pembuka wacana dan kajian ilmu hukum baru bagi kalangan akademisi di Indonesia.

Material "Amar Putusan" dalam "Pokok Permohonan" Perkara Nomor 91/PUU-XVIII/2020 ada 9 (sembilan), dan poin paling krusial untuk dipahami secara kritis adalah poin 3, 4, 5 dan 7. Mengapa? karena ada pembelajaran politis praktik ketatanegaraan elite penguasa.

Penggalan kalimat Amar Putusan Hakim MK poin 3 (tiga) menyebutkan "pembentukan UU.No.11/2020 bertentangan dengan UUD 1945 .." itu saja, bisa ditafsirkan bahwa Presiden dan Ketua DPR diduga punya niat dan upaya melakukan pembangkangan terhadap UUD 1945.

Meskipun simpulan tafsir di atas "direduksi tingkat kesalahannya" dengan kalimat lanjutan "... dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai "tidak dilakukan perbaikan dalam waktu 2 (dua) tahun sejak putusan ini diucapkan".

Tafsir kalimat lanjutan di atas, setidaknya bertolak belakang dengan Amar Putusan Hakim MK poin 4 menyebutkan "UU.No.11/2020 masih tetap berlaku sampai dengan dilakukan perbaikan pembentukan sesuai dengan tenggang waktu sebagaimana yang telah ditentukan dalam putusan ini".

Meskipun ada 4 (empat) Hakim MK memiliki pendapat berbeda (dissenting opinion) putusan uji formil UU.No.11/2020, pada akhirnya Hakim MK menyimpulkan ada kecacatan formil terkait proses persyaratan perumusan UUCK.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline