Lihat ke Halaman Asli

Khusnul Zaini

Libero Zona Mista

Di Balik Kasus dan Solusi Konflik Laten Tenurial

Diperbarui: 25 Oktober 2020   15:39

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Keberadaan hutan dan kawasannya sekitar 20 tahun terakhir, telah mengalami degradasi cukup signifikan dan sangat mengkhawatirkan berbagai pihak. Hal ini terjadi salah satunya akibat konflik sosial yang didasari konflik lahan (tenurial).

Pada dekade tahun 1990-an saja, tidak kurang dari 19,807 konflik terjadi pada lahan-lahan HPH, HPHTI, Perhutani dan Taman Nasional dalam bentuk penebangan liar, tumpang tindih status lahan, reclaiming, perladangan liar dan pembakaran hutan (Mushi, 1999). Seakan masalah ini menjadi “suatu konflik yang dilatenkan”.

Istilah “dilatenkan” tafsirnya bisa berarti potensi konflik tenurial seakan dengan sengaja disembunyikan dengan rapi, dipendam dalam-dalam, disamarkan agar tidak terlihat nyata, yang selanjutnya dimunculkan Kembali pada saat dan waktu tertentu.

Penggunaan istilah “tenure” sering mencuat tatkala terjadi konflik yang berkepanjangan antar pihak yang saling mempertahankan hak penguasaan terhadap lahan atau sumber daya alam.  Land tenure adalah istilah legal untuk hak pemangkuan lahan, dan bukan hanya sekedar fakta pemangkuan lahan.

Dengan demikian, pengertian Land tenure berarti sesuatu yang dipegang termasuk hak dan kewajiban dari pemangku lahan. Seseorang mungkin memangku lahan, tetapi secara hukum tidak berarti mempunyai hak menguasai.

Pada dasarnya, konflik lahan terjadi akibat secara de jure sumber daya alam (termasuk hutan) diklaim telah dikuasai negara (pasal 33 UUD ’45), tetapi fakta dilapangan justru sebagian besar secara de facto-nya tidak diakui oleh (sebagian) masyarakat.

Konflik lahan juga sering terjadi akibat manajemen kawasan (tata ruang) yang kurang tepat, tidak tegas penanganan masalahnya secara hukum-politik, dan belakangan terjadi sebagai akibat tarik-menarik kewenangan pengaturan sumber daya alam antara pusat dan daerah.

Klaim Atas Lahan

Kecenderungan yang terjadi menunjukkan praktik klaim masyarakat atas lahan dalam kawasan hutan, berlangsung ketika kawasan hutan negara tersebut telah diterbitkan Izin Usaha Pemanfaatan (IUP) kepada subyek hukum penerima SK. Menteri dengan skema pengelolaan tertentu.

Sedangkan upaya masyarakat melakukan klaim atas lahan beragam tujuannya. Selain menjadi sumber kehidupan sebagai mata pencaharian tunggal, tetapi ada juga tujuan dibaliknya, untuk mendapat ganti rugi dari pihak perusahaan.

Praktik klaim lahan hingga penggarapannya oleh masyarakat adat/desa tempatan, atau masyarakat pendatang, dapat dipastikan bersumber atau didasarkan atas (1) hak waris, (2) proses jual beli dari pihak yang tidak berhak atas lahan tersebut, dan (3) inisiatif dan kesanggupan mereka menggarap lahan yang belum ada pihak pengelola sebelumnya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline