OLEH: Khoeri Abdul Muid
Bagian 7: Tipu Daya di Gunung Batur
Malam turun di Gunung Batur. Cahaya bulan menimpa bongkahan batu yang berserakan, seakan menunggu tangan-tangan yang akan menyusunnya menjadi candi.
Pancapana dan Indrayana terus bekerja. Pancapana membelah batu besar dengan tenaga luar biasa, sementara Indrayana mengukir relief-relief yang menggambarkan kisah kehidupan dan kebijaksanaan. Candradewi membantu menyalakan pelita dan menyiapkan air agar mereka tetap kuat.
Namun di tempat yang lebih tinggi, Sidha Kalagana sudah bersiap dengan rencana liciknya. Ia duduk bersila, melafalkan mantra. Angin malam berputar kencang, seakan menjawab panggilannya. Dari kegelapan, muncul makhluk-makhluk gaib: jin, siluman, dan roh penunggu gunung.
"Aku memerintahkan kalian," ujar Sidha Kalagana, suaranya tajam, "bantu aku membangun candi ini sebelum fajar. Jika berhasil, kalian akan kuberi sesaji dan tempat pemujaan."
Para makhluk gaib itu menunduk, lalu bergerak cepat. Mereka mengangkat batu-batu dengan kekuatan luar biasa, menyusunnya hingga terbentuk bangunan besar dalam sekejap.
Dari kejauhan, Pancapana merasa ada yang aneh. Kalung pusaka pemberian Resi Bayumurti yang tergantung di lehernya tiba-tiba bergetar, memancarkan cahaya samar.
"Indrayana," katanya cemas, "lihatlah. Ada yang tidak wajar. Pekerjaan kita baru setengah jalan, tapi di sisi lain gunung, bangunan seolah hampir rampung."
Indrayana mengerutkan kening. "Itu pasti ulah Sidha Kalagana. Ia tidak akan pernah jujur."