Lihat ke Halaman Asli

Khalisah AinulHilya

Mahasiswa, Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta

Mengurangi Tumpukan Plastik di Dunia Pendidikan : Plasticpay Sebagai Langkah Awal

Diperbarui: 12 Oktober 2025   09:16

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Nature. Sumber ilustrasi: Unsplash

Pendahuluan

Masalah sampah plastik telah menjadi ancaman ekologis dan sosial yang semakin mendesak di Indonesia. Berdasarkan laporan World Economic Forum (2020), dunia menghasilkan sekitar 300 juta ton plastik setiap tahun, dan lebih dari 8 juta ton di antaranya berakhir di lautan. Indonesia sendiri tercatat menghasilkan sekitar 9,13 juta ton limbah plastik per tahun, dengan tingkat daur ulang yang masih di bawah 10% (Alamsyah & Fadli, 2023). Fakta ini menempatkan Indonesia sebagai salah satu penyumbang sampah plastik terbesar kedua di dunia setelah Tiongkok.

Krisis ini tidak hanya mencerminkan kegagalan sistem pengelolaan limbah nasional, tetapi juga rendahnya kesadaran masyarakat terhadap konsep keberlanjutan. Salah satu sektor yang seharusnya menjadi contoh justru masih berkontribusi terhadap persoalan ini --- yaitu dunia pendidikan tinggi. Kampus yang seharusnya menjadi pusat inovasi dan perubahan sosial sering kali masih menyumbang timbunan plastik dari aktivitas sehari-hari seperti penggunaan botol air minum, kemasan makanan sekali pakai, dan alat tulis berbahan plastik (Lasaiba & Riry, 2025).

Masalah tersebut tidak dapat dilepaskan dari perilaku konsumtif masyarakat urban, termasuk mahasiswa. Di banyak universitas, terutama di kota besar seperti Jakarta, kantin dan area publik kampus masih dipenuhi plastik sekali pakai. Di UPN Veteran Jakarta, misalnya, kebiasaan membuang sampah sembarangan masih terlihat di beberapa titik seperti taman fakultas, pelataran kantin, dan area parkir. Tempat sampah memang tersedia, namun pemilahan antara organik dan anorganik sering tidak diindahkan. Situasi ini memperlihatkan bahwa perubahan perilaku belum sepenuhnya berjalan seiring dengan kesadaran ekologis.

Fenomena ini mengindikasikan bahwa pendidikan tinggi belum sepenuhnya bertransformasi menjadi agen perubahan lingkungan yang efektif. Oleh sebab itu, solusi yang ditawarkan tidak bisa hanya bersifat seremonial seperti gerakan "hari bebas plastik", tetapi perlu pendekatan yang inovatif dan berkelanjutan. Salah satu terobosan yang potensial adalah Plasticpay, sebuah platform ekonomi sirkular yang mengubah sampah plastik menjadi poin digital bernilai ekonomi. Inovasi ini dinilai mampu menarik minat mahasiswa karena menggabungkan unsur teknologi, edukasi, dan penghargaan sosial secara bersamaan.

Tinjauan Konsep: Komunikasi dan Demokrasi Lingkungan Hidup

Konsep komunikasi lingkungan menekankan pentingnya bagaimana pesan tentang pelestarian alam disampaikan secara efektif kepada masyarakat agar mampu memengaruhi perilaku. Tidak cukup hanya memberikan data, tetapi harus mampu menyentuh kesadaran emosional, membentuk identitas ekologis, dan mendorong tindakan nyata. Menurut teori Environmental Communication (Cox, 2016), komunikasi lingkungan yang efektif terjadi ketika pesan disampaikan melalui media yang relevan dengan audiens dan dengan cara yang memungkinkan partisipasi aktif.

Hermawan dan Budyatmojo (2022) menjelaskan bahwa demokrasi lingkungan hidup merupakan bentuk partisipasi masyarakat dalam menjaga kelestarian alam, dengan menempatkan manusia sejajar dengan sistem ekologis, bukan sebagai penguasa atasnya. Dalam konteks kampus, demokrasi lingkungan hidup berarti keterlibatan mahasiswa, dosen, dan tenaga kependidikan dalam menciptakan sistem pengelolaan lingkungan yang transparan, partisipatif, dan berkeadilan ekologis. Kampus yang menerapkan prinsip ini bukan hanya mengajarkan teori keberlanjutan, tetapi mempraktikkannya dalam kehidupan sehari-hari.

Dalam era digital, komunikasi lingkungan bergeser ke arah platform interaktif yang memungkinkan penyampaian pesan sekaligus aksi nyata. Plasticpay menjadi contoh konkret penerapan komunikasi ekologis digital. Melalui aplikasi ini, mahasiswa tidak hanya menerima informasi, tetapi juga dapat memantau kontribusi pribadinya terhadap pengurangan sampah. Fitur seperti "jumlah plastik yang didaur ulang", "poin yang dikumpulkan", dan "emisi karbon yang dihindari" menjadikan Plasticpay sebagai media komunikasi partisipatif yang efektif dan edukatif.

Lebih jauh, teori Environmental Behavior Change menjelaskan bahwa perubahan perilaku lingkungan membutuhkan tiga faktor utama: pengetahuan, motivasi, dan kesempatan. Kampus dapat memainkan peran besar dalam ketiganya --- menyediakan edukasi lingkungan (pengetahuan), menciptakan insentif melalui Plasticpay (motivasi), dan memfasilitasi pengelolaan sampah terintegrasi (kesempatan). Dengan sinergi ini, mahasiswa tidak hanya menjadi objek sosialisasi, tetapi juga subjek aktif yang berkontribusi dalam gerakan hijau berkelanjutan.

Selain itu, konsep ekonomi sirkular yang menjadi dasar Plasticpay juga sangat relevan. Ekonomi sirkular menekankan pengurangan limbah melalui siklus penggunaan kembali (reuse), daur ulang (recycle), dan perpanjangan umur produk. Jika diterapkan di kampus, sistem ini tidak hanya mengurangi timbulan sampah, tetapi juga membuka peluang kewirausahaan hijau dan inovasi sosial berbasis lingkungan. Dengan demikian, komunikasi lingkungan, demokrasi ekologis, dan ekonomi sirkular membentuk fondasi teoretis yang kuat untuk menjadikan kampus sebagai pusat transformasi hijau.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline