Lihat ke Halaman Asli

RUU Penyiaran Bungkam Kebebasan Pers, Konten Kreator Kena Imbas

Diperbarui: 26 Maret 2025   23:42

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Foto Sensor (Sumber: Pexels.com )

Undang-undang Republik Indonesia no. 32 tahun 2002 merupakan produk hukum yang muncul sebagai respons pasca reformasi 1999 untuk masyarakat. Masyarakat mengalami perubahan setelah diberlakukannya UU Penyiaran no. 32 tahun 2002 ini.


Undang-undang penyiaran yang diyakini sebagai wadah kebebasan untuk berekspresi kini mulai luntur. Seiring berkembangnyara zaman, KPI (Komisi Penyiaran Indonesia) tidak hanya bekerja melakukan sensor pada televisi maupun radio, kini mereka masuk ke ranah media digital. Melalui digitalisasi dan konvergensi media, muncul layanan Over-The-Top (OTT) pada Tiktok, Netflix, maupun YouTube. Sehingga perubahan pola konsumsi masyarakat menjadi tantangan baru karena masyarakat lebih banyak menggunakan media sosial.

Menurut data tahun 2023, 3,5 juta konten kreator di Indonesia menggantungkan hidup mereka pada platform YouTube maupun Tiktok. Munculnya draft Rancangan Undang-Undang Penyiaran (draft 27 Maret 2024) membuat resah para konten kreator. RUU ini mencoba mengambil alih kebebasan di ruang digital saat ini dengan pasal-pasal yang kontroversial.

Draft RUU Penyiaran Pasal 34F ayat 2 : mengatur bahwa penyelenggara platform digital penyiaran dan/atau platform teknologi penyiaran lainnya wajib melakukan verifikasi konten siaran ke KPI sesuai dengan Pedoman Perilaku Penyiaran (P3) dan Standar Isi Siaran (SIS).

Pasal 34A - Pasal 36B : berisi pasal-pasal yang berkaitan dengan platform digital penyiaran, seperti YouTube, Instagram, dan Tiktok.

Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi menyebabkan munculnya draft RUU Penyiaran tersebut, kewajiban verifikasi konten ke KPI dapat membatasi kreativitas konten kreator di platform tersebut. Hal ini bertentangan dengan sistem demokrasi di Indonesia, di mana kebebasan berpendapat menjadi hak bagi setiap masyarakat.

Selain itu, Pasal 50B ayat 2 huruf c berbunyi, "Selain memuat panduan kelayakan Isi Siaran dan Konten Siaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), SIS memuat larangan mengenai penayangan eksklusif jurnalistik investigasi."

Sedangkan masyarakat tahu berbagai informasi faktual muncul melalui jurnalistik investigasi. Jika RUU tersebut diterapkan maka masyarakat tidak akan tahu berbagai informasi berita yang sifatnya non-accessible untuk masyarakat umum.

Sehingga, dapat disimpulkan bahwa pemerintah mulai menutup diri untuk menerima kritik dari masyarakat karena kritik tersebut dirasa mengancam pertahanan dan keamanan.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline