Lihat ke Halaman Asli

Membangun dengan Pinjaman Luar Negeri dan Risikonya

Diperbarui: 30 Juni 2018   05:51

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Pinjaman luar negeri, pertama bisa G to G yaitu Government to Government, pinjaman seperti ini harus mendapat persetujuan DPR. Pengembalian pinjaman seperti ini berasal dari peningkatan pendapatan negara dan biasanya disalurkan melalui lembaga keuangan seperti IBRD ( Internatonal Bank Recontruction and Develepment ),  JICA (Japan Internasional Coorporation Agency), ADB ( Asian Development Bank ).

Yang kedua, G to P yaitu Government to Private, pinjaman seperti ini tidak perlu mendapat persetujuan DPR karena dijamin oleh perbankan nasional. Jika pembangunan Infrastruktur disebut digaransi oleh 3 bank BUMN, bisa dipastikan pinjaman tersebut tidak melalui persetujuan DPR. Teknisnya, negara pemberi pinjaman menyalurkan pinjaman kepada ketiga bank BUMN tersebut dengan bunga biasanya mengikuti standar bunga internasional seperti LIBOR ( London Interchange Bank Of Rate ) dan biasanya bank yang bertindak sebagai garantor tersebut mengenakan bunga tambahan sebagai jasa.

Debitur hanya berhubungan dengan bank yang bertindak sebagai bank garantor dan bank garantor berhubungan dengan lembaga keuangan negeri pemberi pinjaman. 

Bagaimana kalau pinjaman luar negeri  itu terjadi kemacetan dalam pengembalian?

Sperti disebut diatas, debitur hanya berhubungan dengan bank garantor maka sekedule pembayaran kembali pinjaman tersebut menjadi tanggung jawab bank garantor.  Debitur membayar dalam mata uang rupiah yang dikonversi kedalam mata uang pinjaman pada saat pembayaran, selanjutnya  bank garantor membayar kepada pemberi pinjaman dalam bentuk valas sesuai kesepakatan.

Jika terjadi depresiasi nilai tukar, debitur tetap harus membayar dalam nilai konversi mengikuti kurs yang berlaku saat itu. Kalau pinjaman dalam bentuk US $, debitur menyetorkan dalam nilai rupiah yang dikonversi  kurs beli saat itu, misalkan pembayaran dilakukan hari ini, rupiah akan diokonversi kedalam kurs jual hari ini sebesar Rp. 14.476 per US $. Jika, debitur tak mampu membayar, maka menjadi kewajiban bank garantor sebagai pemegang coleteral untuk membayar kepada pemberi pinjaman.

Seperti terjadi tahun 1998, bank garantor gagal bayar dan ambruk maka utang itu di write of, diambil alih pemerintah yang menjadi beban APBN.  Jaminan pinjaman diserahkan kepada BPPN ( Badan Penyehatan Perbankan Nasional).

Beberapa waktu berselang, BI telah menaikkan suku bunga acuan sebesar 50 basis poin (bps)  menjadi 5,25%. Gubernur BI Perry Warjiyo menyebut kenaikan ini  diharapkan bisa menarik masuknya dana dari investor asing. Namun melihat trend pelemahan nilai tukar rupiah beberapa hari terakhir ini, bahwa upaya BI tersebut belum cukup menahan laju depresiasi rupiah.  Sejak awal tahun, BI telah menaikkan bunga acuan hingga 100 bps atau 1%, langkah ini dilakukan untuk mengantisipasi tekanan dari  eksternal. Dia menjelaskan, kondisi ekonomi Indonesia saat ini dalam  kondisi yang baik karena laju inflasi hingga Mei 2018 semakin terkendali  di posisi 3,23% secara tahunan.

Sedangkan untuk tekanan eksternal bersumber dari ekspektasi kenaikan  bunga The Federal Reserve dan rencana normalisasi kebijakan moneter Bank  Sentral Eropa pada September 2018. Selain itu perang dagang antara  China dan Amerika Serikat (AS) juga turut mempengaruhi.

Apa yang disampaikan oleh Gubernur BI yang dikutip dari Detik.Finance, pernyataan tersebut lebih bersifat normatif sebuah kebijakan moneter umumnya. Ekspektasi masuknya investor asing akan tergantung banyak faktor terutama kondisi politik serta iklim investasi.  Kondisi ekonomi akan berpengaruh pada politik atau sebaliknya.

Dalam  situasi terjadi defisit neraca perdagangan seperti saat ini, kenaikan  basis acuan suku bunga BI diharapkan memperkuat devisa dari investor  namun sebaliknya menjadi tekanan pada produktivitas dimana Indonesia  harus dapat menaikan eksport.  Yang menjadi masalah adalah  ketergantungan industri pada konten import masih cukup besar ditambah  pemenuhan BBM dari import yang menguras devisa. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline