Lihat ke Halaman Asli

KASTRAT BEM FEB UGM

Kabinet Harmoni Karya

Covid-19: Krisis Kesehatan, Ekonomi, atau Kepercayaan

Diperbarui: 15 Juni 2020   13:53

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Oleh Fuadianti Fortuna (Manajemen 2019) - Staff Departemen Kajian dan Riset Strategis BEM FEB UGM

Patut diakui bahwa virus corona sejak awal tiba di Indonesia kerap kali dianggap remeh oleh pemerintah. Mulai dari pernyataan mengenai sulitnya virus korona ke Indonesia hingga virus korona tidak bisa bertahan di iklim Indonesia.

Setelah COVID-19 dianggap sebagai pandemi oleh WHO, selanjutnya BNPB menetapkannya sebagai bencana nasional. Pemerintah menyerukan masyarakat untuk bekerja dari rumah dan melakukan physical distancing untuk mengurangi penyebaran virus tersebut. Akan tetapi, apakah physical distancing berhasil dilakukan oleh masyarakat maupun pemerintah? 

Gagalnya Physical Distancing bagi masyarakat

Hal yang menarik mengenai physical distancing adalah pelaksanaanya yang tidak dipatuhi oleh seluruh masyarakat. Terlepas dari keengganan masyarakat untuk melakukan physical distancing dan kurang masifnya sosialisasi dari pemerintah. Sebuah survei yang dilakukan oleh Caria S, et. al (2020) mengenai kepatuhan masyarakat terhadap melakukan physical distancing (menjaga jarak dua meter dari orang lain) di seluruh dunia. Ditemukan bahwa Indonesia menempati pada skor sekitar 69 dan berada di bawah rata-rata skor sedunia dengan skor sekitar 77. Angka tersebut juga berada di bawah Korea Selatan, India dan Malaysia.

Grafik 1: "I keep a distance of at least 2 meters to other people" Measuring Worldwide COVID-19 Attitudes and Beliefs (Caria et al, 2020)

Data dari Facebook Disease Prevention Map yang dikutip dari Okhtariza (2020) membandingkan data pengguna akun Facebook di DKI Jakarta pada tanggal 2 dan 3 April 2020. Dengan asumsi satu akun dimiliki per orang. Hasilnya adalah terdapat mobilitas yang tinggi di antara kedua hari tersebut dengan radius hingga 1500 kilometer ke seluruh mata angin.

Angka paling tinggi berada pada jarak 40-60 kilometer berlaku bagi masyarakat yang commuting di Jabodetabek (bekerja, jalan-jalan, mengunjungi kerabat dll.). Jika dengan jarak 100 kilometer ke arah timur. Maka, akan memperlihatkan sebaran pengguna yang menuju berbagai kota dengan angka taksiran Jakarta-Bandung (150 km), Brebes, (280 km), Cilacap (380 km), Semarang (450 km), Solo (540 km), Yogyakarta (560 km), Surabaya (782 km), dan Malang (851 km).

Grafik 2: Mobilitas Pengguna Facebook di Jakarta 2 & 3 April 2020 (Okhtariza 2020)

Adapun jika dengan jarak yang sama ke arah timur. Maka, akan memperlihatkan sebarang pengguna dengan angka taksiran Jakarta-Palembang (500 km), Jambi (810 km), Riau (1230 km), dan Padang (1340 km). Terlepas dari keterbatasan akurasi informasi mengenai mobilitas yang disertai physical distancing, hal ini telah menunjukkan bahwa pergerakan masyarakat masih banyak yang tidak mentaati untuk tinggal di rumah. 

Sebagai contoh, terdapat setidaknya 547 kegiatan (total 5324 orang) yang dibubarkan sepanjang 30 Maret sampai dengan 5 April, di Banten (Detik 2020).

Mengapa masyarakat mengabaikan untuk melakukan physical distancing? Studi dari Maryanti et al. (2017) menemukan bahwa terdapat hubungan positif antara pendidikan formal terhadap kesiapsiagaan terhadap suatu bencana. Dalam artian bahwa tinggi rendahnya tingkat kesiapsiagaan seseorang memiliki hubungan positif dengan jenjang pendidikan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline