Lihat ke Halaman Asli

Karnita

TERVERIFIKASI

Guru

Dari Curiga Menjadi Salut, Pelajaran dari Permintaan Maaf Suporter Garuda

Diperbarui: 9 Oktober 2025   21:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Suporter Indonesia minta maaf ke wasit usai laga 19/11/2024, bukti sportivitas dan kedewasaan moral. (KOMPAS.com/ADIL NURSALAM)

Dari Curiga Menjadi Salut,  Pelajaran dari Permintaan Maaf Suporter Garuda

“Kejujuran di lapangan tidak hanya milik pemain, tetapi juga penonton yang berani mengakui prasangkanya.”

Oleh Karnita

Ketika Curiga Berganti Kagum: Refleksi dari Lapangan Hijau

Apakah publik sepak bola Indonesia akhirnya belajar untuk menilai secara objektif, bahkan kepada wasit yang semula dicurigai? Pertanyaan ini muncul usai pertandingan Kualifikasi Piala Dunia 2026 Zona Asia antara Indonesia vs Arab Saudi pada Selasa, 19 November 2024, di Stadion Gelora Bung Karno, Jakarta. Dalam laga tersebut, bukan hanya skor 2–3 yang jadi sorotan, tetapi juga perubahan sikap publik: dari curiga menjadi salut kepada wasit asal Kuwait, Ahmad Al-Ali.

Momen itu menjadi peristiwa langka di dunia sepak bola nasional. Biasanya, media sosial penuh dengan hujatan kepada wasit setiap kali Timnas kalah. Namun kali ini berbeda. Ribuan warganet justru menulis permintaan maaf kepada sang pengadil, mengakui bahwa mereka terlalu cepat menilai. Fenomena ini menunjukkan wajah baru suporter Indonesia—lebih reflektif, lebih dewasa.

Penulis tertarik membahas hal ini bukan sekadar karena konteks olahraganya, tetapi karena relevansi moralnya di tengah iklim sosial yang mudah tersulut emosi. Dalam situasi bangsa yang sedang belajar menjaga rasionalitas di tengah polarisasi opini, sikap mawas diri suporter layak diapresiasi sebagai pelajaran publik yang langka dan berharga.

1. Dari Trauma ke Prasangka: Luka Lama Suporter Indonesia

Skeptisisme terhadap wasit bukan hal baru bagi publik sepak bola Indonesia. Trauma masa lalu—dari keputusan kontroversial hingga dugaan keberpihakan—membentuk semacam memori kolektif yang sulit dihapus. Maka, ketika AFC menunjuk Ahmad Al-Ali asal Kuwait, yang masih satu subkonfederasi dengan Arab Saudi, publik pun segera mencium potensi ketidakadilan.

Namun dugaan itu terbukti keliru. Dalam laga di GBK, Al-Ali memimpin dengan profesional: tiga penalti diberikan secara proporsional—dua untuk Indonesia, satu untuk Arab Saudi. Semua keputusan bisa dijelaskan secara teknis tanpa indikasi keberpihakan. Ketegasan dan konsistensinya bahkan mendapat pujian dari penonton yang sebelumnya meragukannya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline