Lihat ke Halaman Asli

Kang Win

Penikmat kebersamaan dan keragaman

Cecep dan Jakarta

Diperbarui: 21 April 2021   08:30

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Berakhirpekan.com

Pada Sabtu sore akhir Mei 1992 di kaki lima Jovankar di bilangan Alun-alun Bandung, dibelinya sebuah tas besar jenis travel bag. Sengaja beli di situ menyesuaikan dengan kondisi kantong. Atas saran temannya, dibelinya pula sebuah dasi bernuansa biru, warna kebesaran Persib, tim kebanggaannya.

"Di Jakarta maneh kudu make dasi (Di Jakarta kamu harus pakai dasi)," begitu kata Marzian teman sekantornya yang berasal dari Aceh, sarjana ekonomi dari sebuah STIE di Kota Bandung.

 "Ati-ati di ditu. Jakarta lain Bandung. Di ditu aya Gani. Balad-baladna di dieu teu pati panuju maneh pindah ka Jakarta (Hati-hati di sana. Jakarta bukan Bandung. Di sana ada Gani. Kawan-kawannya di sini tidak begitu setuju kamu pindah ke Jakarta),"  Marzian mengingatkan.

"Saha nu nyaho maranehna macem-macem"(Siapa yang tahu mereka macam-macam)," lanjut marzian.

Cecep menganggukkan kepala. ia menyimak apa yang dikatakan Marzian.

Di kantor ada sekitar 20 orang karyawan yang cukup senior. Boleh dikatakan mereka adalah angkatan pertama saat kantor baru mulai beroperasi. Salah satu dari mereka adalah Gani yang minta pindah ke Jakarta setahun sebelumnya. Agar bisa dekat dengan keluarga alasannya. Gani beristrikan perempuan asal Rangkasbitung, Banten. Di sana mereka tinggal. Tiap hari Gani pergi pulang kantor dengan KRL dari Stasiun Kebayoran Lama. Gani satu almamater dengan Marzian teman Cecep yang dari Aceh itu.

Mengenai kepindahan Cecep ke Jakarta, para senior itu terbagi dua. Sebagian mempertanyakan kenapa Cecep yang baru berkarier tiga tahun yang mendapatkan kesempatan itu, padahal banyak yang jauh lebih senior. Sebagian lagi menyesalkan kepergian Cecep, karena mereka menilai Cecep masih sangat dibutuhkan tenaganya. Kelompok yang kedua ini kemudian dapat memahami dan akhirnya mendukung Cecep pindah ke Jakarta. Untuk kepentingan yang lebih besar menjadi alasan mereka. Mengenai kelompok yang pertama, Marzian berjanji akan mengabari Cecep jika ada hal penting tentang mereka.

"Selamat berjuang sobat. Urang mah rek tetep di Bandung (Selamat berjuang sahabat. Saya mah mau tetap di Bandung),"  ujar Marzian kemudian dalam basa Sunda logat Aceh.

Lusa, Cecep akan memulai kehidupan di tempat baru, Jakarta. Dia mendapat promosi untuk memimpin kantor di Jakarta yang sebenarnya merupakan induk (head office) dari kantor yang di Bandung. Sore itu, disaksikan puluhan orang yang bercengkrama di Alun-alun Bandung Cecep dan Marzian berpelukan sebagai tanda perpisahan.

Senin 1 Juni 1992 bertepatan dengan Hari Lahir Pancasila, Cecep menjejakkan kaki pertama kali di Tanah Betawi sebagai seorang laki-laki dewasa. Saat kecil Cecep sering juga menghabiskan masa liburan sekolah di Jakarta. Kebetulan ada rumah keluarga di Petojo Binatu di bilangan Harmoni, tidak jauh dari Stasiun Gambir pemberhentian akhir Kereta Api Parahyangan yang membawanya dari Bandung.

Dengan menenteng travel bag yang dibelinya kemarin, Cecep keluar dari pintu kereta api. Sesaat dia berdiri di emplasemen peron lantai 2. Matanya berbinar bergerak mengarahkan pandangannya ke segala arah. Dilihatnya Monas menjulang tinggi. Dilihatnya Medan Merdeka Utara, Medan Merdeka Barat dan Medan Merdeka Selatan. Semuanya mengingatkan Cecep kepada Bung Karno Sang Penggali Pancasila yang disia-siakan oleh penguasa Orde Baru. Dari emplasemen peron lantai 2 Stasiun Gambir, Cecep menatap atmosfer persaingan Kota Jakarta.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline