Lihat ke Halaman Asli

Kang Win

Penikmat kebersamaan dan keragaman

Hikmah Bisa Datang Dari Mana Saja

Diperbarui: 16 Juni 2020   01:06

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

News detik.com

Sekitar pertengahan dekade 80-an, kuliah saya baru menginjak semeseter V, saya nyambi kerja sebagai guru honorer di sebuah SMA.Di sela-sela kesibukan kuliah dan ngajar itu saya masih sempat bantu temen ngurus toko pupuk pertanian. Toko pupuk berada di sekitar pasar, meski tidak termasuk bagian dari kios-kios pasar.

Karena toko berada di kawasan pasar, saya menjadi cukup familier dengan kehidupan pasar tradisional. Aktifitas bongkar muat dengan kuli panggulnya, kusir delman dan abang beca, pedagang asongan, adalah keseharian yang bisa jelas terlihat di bagian luar dari sebuah pasar tradisional.

Di situ saya juga bisa berkenalan dengan preman-preman yang beroperasi di pasar tersebut. Salah satunya sebut saja Acek namanya. Tubuhnya biasa saja, hanya rambut gondrong melewati bahu yang diikat menjadi ciri khas dia. Menjelang saya lulus kuliah, dia bergabung menjadi pegawai di toko pupuk tempat saya membantu itu.

Seiring dengan karir saya setelah lulus kuliah, beberapa tahun saya tidak ketemu dia. Sampai pada suatu saat, ketika saya mampir pulang kampung setelah urusan perjalanan dinas di Jakarta, saya ketemu lagi dengan dia. Tentu saja di pasar, dia masih menjadi pegawai di tokok pupuk teman saya itu.

Saya katakan sama dia, saya mampir pulang untuk mengunjungi orang tua. Sambil menepuk-nepuk bahu saya, dia mengatakan “bener kudu kitu. Zarah ka kolot mah leuwih hade keur araya keneh” (Betul harus begitu. Menziarahi orang tua itu lebih baik ketika mereka masih ada).

Ucapan dia tentang mengunjungi orang tua, betul-betul menginspirasi saya. Mengingatkan kepada diri sendiri bahwa orang tua layak mendapat kunjungan dari anak-anaknya.

Sejak saat itu, seringkali jika ada agenda di Jakarta, saya sempatkan untuk pulang ke Bandung, meski hanya sebentar. Datang sudah malam, subuh sudah pergi lagi ke Jakarta. Hanya untuk bisa ketemu dengan kedua orang tua.

Hari-hari ini, setelah ayah meninggal beberapa tahun yang lalu, saya melihat kebenaran dari ucapan Acek. Betapa akan sangat menyesalnya saya jika saja pada saat beliau masih ada, saya mengabaikannya untuk sekedar mengunjunginya.

Beberapa tahun lalu, setelah saya mengakhiri karir profesional sebagai “orang kantoran”, istri saya membuka usaha keluarga, sebuah toko kue. Malam hari menjadi tugas saya menjaga toko setelah pegawai toko kami pulang. Setelah tutup toko sekitar jam 9 atau jam 10, biasanya saya bawa sisa kue yang tidak terjual hari itu. Untuk dibagi ke tetangga rumah, tukang beca dan tukang ojeg, atau siapa saja yang kebetulan ketemu di jalan.

Suatu ketika, saya memberikan sisa kue itu kepada seorang tukang beca yang kelihatannya sedang bersiap-siap untuk pulang. Karena kebetulan hanya sedikit sisa kue yang saya bawa, hanya kepada satu orang itu saya berikan. Sambil mengucapkan terima kasih, dia minta ijin untuk membagi kue itu kepada seorang temannya yang juga tukang beca. Setengah dia berikan kepada tenannya, setengahnya lagi dia bawa pulang.

Saya merasa terharu atas sikap terpuji dari kakek tukang beca itu. Betapa dengan keterbatasan dia dari sisi ekonomi, dia masih sanggup berbagi atas rejeki ysng diterimanya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline